Rahasia Sembilan Wali - 1





Anggota Dewan Wali

Konon, Seorang ulama Islam, bernama Syeh Abdul Jalil, datang ke Jawa dan bermukim di Bukit Amparan Jati ( Daerah Cirebon sekarang ). Disana, beliau bertemu dengan Syeh Dzatul Kahfi, seorang ulama sepuh yang sudah lama menetap di Bukit Amparan Jati. Ulama sepuh inilah guru dari Pangeran Walang Sungsang dan Dewi Rara Santang, putra-putri dari Prabhu Silih Wangi, Raja Pajajaran.

Setelah menetap berdekatan dengan Syeh Dzatul Kahfi, Syeh Abdul Jalil kemudian berpindah ke Carbon Girang. Disana beliau mendirikan sebuah Pesantren dengan nama KRENDHASAWA. Banyak yang tertarik dengan ajaran beliau yang bernuansa spiritual murni. Sama sekali berbeda dengan para ulama-ulama lain yang juga mengurusi kenegaraan. Sibuk ingin mendirikan Kekhalifahan Islam.

Di Pesantren Krendhasawa, para santri tidak menemui nuansa politik seperti itu. Ajaran tassawuf begitu kental. Nuansa kedamaian sangat terasa.

Kehadiran Syeh Abdul Jalil, menyita perhatian Dewan Wali Sangha yang berpusat di Ampeldhenta ( Daerah Surabaya sekarang ). Sudah menjadi kesepakatan bersama, seyogyanya, para ulama yang menetap di Jawa, masuk menjadi anggota Dewan Wali. Syeh Abdul Jalil tidak menolak ajakan itu. Beliau bersedia masuk menjadi anggota Dewan Wali Sangha.

Begitu menjadi anggota Dewan Wali, beliau mendapat julukan Syeh Lemah Abang atau Syeh Ksiti Jenar ( Lemah = Tanah, Abang = Merah. Ksiti = Tanah, Jenar = Kuning ). Beliau mendapat gelar seperti itu karena beliau tinggal didaerah Jawa bagian barat yang terkenal tanahnya berwarna merah kekuning-kuningan, beda dengan tanah jawa bagian tengah dan bagian timur. Kata KSITI yang artinya tanah, lama-lama berubah menjadi SITI. Maka terkenallah beliau dengan sebutan Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang atau Sunan Kajenar.

Beliau bukan keturunan bangsawan. Kebanyakan, para ulama yang waktu itu dikenal dengan sebutan Wali, berasal dari kalangan bangsawan. Sebut saja Sunan Ampel, dia berdarah bangsawan Champa. Sunan Benang ( lama-lama berubah menjadi Bonang ), Sunan Darajat ( lama-lama berubah menjadi Drajat ), Sunan Lamongan, ketiganya putra Sunan Ampel, berdarah bangsawan Champa dan Tuban ( karena istri Sunan Ampel masih keturunan Kadipaten Tuban ), begitu juga Sunan Kalijaga ( berdarah Tuban), Sunan Giri ( berdarah Blambangan ), dll.

Syeh Siti Jenar, tidak berdarah biru. Namun beliau memiliki ‘kecemerlangan’ melebihi para menak berdarah keraton. Mungkin ini juga yang menjadi salah satu faktor sehingga beliau sama sekali tidak tertarik dengan tetek bengek urusan perpolitikan, selain memang ‘kesadaran’ beliau yang benar-benar tinggi.

Konon, Syeh Siti Jenar adalah putra Syeh Datuk Sholeh yang bermukim di Malaka. Syeh Datuk Sholeh putra dari Syeh Datuk Isa. Syeh Datuk Isa putra Syeh Khadir Khaelani. Syeh Khadir Khaelani adalah putra Abdullah Khannuddin. Dan Abdullah Khannuddin putra Ashamat Khan atau Syeh Abdul Malik, yang konon tinggal di India sebelah barat yang sekarang wilayah Pakistan. ( Nah, bisa diketahui kan, kebijaksanaan beliau berasal dari mana? : Damar Shashangka ).

Namun, status keanggotaan Syeh Siti Jenar didalam Dewan Wali Sangha tidak-lah berlangsung lama. Sebab, begitu melihat para ummat Islam yang semula benar-benar murni memperbaiki akhlaq, lama-lama terpengaruh gerakan militansi Islam yang mulai digalang oleh Sunan Giri, santri senior Sunan Ampel. Ditambah lagi, hal serupa juga tengah dilakukan oleh Pangeran Cakrabhuwana, penguasa Carbon Girang.

Kegiatan-kegiatan ruhani Islami, kini berubah diwarnai dengan latihan-latihan tempur. Fokus utama memperbaiki diri, kini berubah menjadi out action, menyalahkan fihak lain. Suasana damai antara penganut Islam, Hindhu dan Buddha, lama-lama mulai goncang.

Syeh Siti Jenar tidak menyukai hal ini. Dimana-mana, aksi sepihak dari ummat Islam membuat suasana menjadi panas. Penganut Hindhu dan Buddha yang selama ini merasa damai bersanding dengan penganut agama baru ini, mulai terusik.

Syeh Siti Jenar, melayangkan surat protesnya ke Ampeldhenta. Namun Sunan Ampel meyakinkan, semua masih wajar dan tidak berlebihan. Namun, bagi Syeh Siti Jenar, apa yang dikatakan Sunan Ampel tidaklah sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Ada seorang ulama yang menyuarakan hal serupa, dialah Sunan Kalijaga. Bersama Syeh Siti Jenar, Sunan Kalijaga mencoba membendung gerakan-gerakan ummat Islam yang kini berubah radikal. Mau tidak mau, diam-diam, ummat Islam terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang militan dan merasa dirinya paling benar karena katanya mengikuti anjuran Al-Qur’an dan Hadist secara kaffah di dipimpin Sunan Giri, Sunan Giri menyatakan, siapa saja yang menolak pergerakan ummat Islam yang tengah gencar-gencarnya saat ini, sama saja menjalankan ajaran bid’ah. Sunan Giri mengklaim, golongannya adalah golongan PUTIHAN (Kaum Putih), dan ummat Islam yang tidak sepaham dengan golongannya, di tuduh sebagai penganut bid’ah, golongan ABANGAN (Kaum Merah).

Untuk mengukuhkan pengakuannya, pengikut Sunan Giri bahkan menyebarkan desas-desus bahwa Syeh Siti Jenar adalah seorang penganut ilmu sihir dari India. ( Jelas diceritakan dalam Babad Tanah Jawa, Syeh Siti Jenar mencuri dengar wejangan agama dari Sunan Bonang yang kala itu tengah mewejang Sunan Kalijaga. Syeh Siti Jenar konon berubah menjadi cacing tanah. Sunan Benang sendiri yang menambal bagian perahu yang sedikit berlobang kala hendak berlayar ke tengah laut untuk sekedar memberikan wejangan rahasia kepada Sunan Kalijaga. Sunan Benang menambalnya dengan segenggam tanah. Padahal, didalam tanah yang sudah tergenggam itu, ada Syeh Siti Jenar yang berwujud cacing. Sunan Benang tahu, tapi dia diam saja. Begitu selesai mewejang barulah Sunan Benang menyuruh cacing itu berubah menjadi manusia. Simbolisasi ini sangat jelas sekali, bahwasanya masuknya Syeh Siti Jenar ke Dewan Wali Sangha adalah atas prakarsa Sunan Benang, disimbolkan dengan mengambil tanah berisi cacing. Dan Syeh Siti Jenar dianggap hanyalah rakyat jelata yang sama dengan cacing. Perahu melambangkan Dewan Wali. Di bagian jawa sebelah barat, ada kekosongan pimpinan ummat Islam. Syeh Dzatul Kahfi sudah sepuh. Pangeran Cakrabhuwana bukanlah seorang ulama, dia seorang politikus, ( Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, belum datang ke Cirebon. Dia masih di Mesir.) Dengan datangnya ‘sang rakyat jelata Syeh Siti Jenar’, kekosongan pemimpin agama bisa ditutupi, tak mengapa walau yang mengisi kekosongan adalah ‘seekor cacing’. Cacing ini, rakyat jelata ini, berubah menjadi manusia atas anugerah Sunan Benang. Seorang rakyat jelata, kini disegani sederajat dengan para bangsawan, itu karena andil Sunan Benang. Dan sang cacing ini, sangat dekat dengan Sunan Kalijaga. : Damar Shashangka )

Simbolisasai ini jelas-jelas muncul dikemudian hari setelah Syeh Siti Jenar difatwakan sesat oleh Dewan Wali. Ada ungkapan diskriminatif di Jawa “ Wong ya pancene godhong Krokot, diunggahna nganti dhuwur ya tetep wae cukule melorot.” ( Namanya juga daun Krokot, walaupun diangkat setinggi mungkin, tumbuhnya tetep saja melorot kebawah. ) Ungkapan ini biasanya mencerminkan kekesalan seseorang yang telah berjasa mengangkat orang lain dari kesengsaraan namun kemudian lupa daratan. Dan manakala Syeh Siti Jenar, yang dulu bukan apa-apa, dan dimasukkan ke Dewan Wali oleh Sunan Benang, sehingga kedudukannya terangkat, namun dikemudian hari berani menentang Para Wali yang lain, maka kerluarlah ungkapan kekesalan secara simbolik ini. Namanya saja rakyat jelata, bagaimanapun juga, tetep saja kelakuannya seperti rakyat jelata, seperti cacing. Kurang lebih seperti itu.

Padahal, tingkat ‘spiritualitas’ seseorang tidak bisa diukur oleh pangkat dan derajatnya di masyarakat. Para Wali lupa. Karena mereka memang tengah terfokus pada duniawi. Pada Kekhalifahan semata. Namun, tidak demikian dengan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga, sangat menghormati Syeh Siti Jenar karena tingkat spiritualitasnya benar-benar tinggi.

Kubu Sunan Giri dan kubu Sunan Kalijaga, tidak pernah sepaham dimana-mana. Dan manakala Sunan Giri memberontak ke Majapahit dan ingin mendirikan Kekhalifahan Islam di Jawa, walaupun lantas bisa dihancurkan oleh Majapahit, Syeh Siti Jenar, menyampaikan protes keras. Bahkan beliau kemudian menyatakan, keluar dari Dewan Wali Sangha.


Dua Kekuatan

Pada tahun 1475, Syarif Hidayatullah bersama ibunya Syarifah Muda’im, datang dari Mesir ke Cirebon. Syarifah Muda’im adalah nama muslim Dewi Rara Santang. Dia adalah adik kandung Pangeran Cakrabhuwana, penguasa Carbon Girang.

Mendengar kedatangan Syarif Hidayatullah, Sunan Giri segera mengirim utusan untuk memintanya bergabung bersama Dewan Wali Sangha yang berpusat di Ampeldhenta. Syarif Hidayatullah menyetujuinya. Lantas dia dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dengan adanya Sunan Gunung Jati, kekosongan kepemimpinan Islam di jawa bagian barat yang semula di jabat Syeh Siti Jenar, tertutupi sudah.

Maka kini, ada dua kekuatan besar di Cirebon. Satu Syeh Siti Jenar dan yang kedua Sunan Gunung Jati.

Pada awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Pimpinan Dewan Wali Sangha berpindah ke tangan Sunan Giri. Hubungan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri yang selama ini terkenal tidak bagus, begitu kepemimpinan Dewan Wali berganti, maka hubungan ini semakin meruncing.

Bahkan, manakala terdengar bahwa Syeh Siti Jenar, mengajarkan Ilmu Tassawwuf tingkat tinggi kepada murid-muridnya, yang sesungguhnya semua wali juga paham akan Ilmu tersebut, oleh Sunan Giri, hal itu dijadikan alasan untuk mencari-cari kesalahan Syeh Siti Jenar.

Syeh Siti Jenar, dipanggil menghadap ke Giri Kedhaton. Dan kisahnya tercatat dalam Pupuh ( Bait-Bait ) Tembang Jawa seperti dibawah ini :

Sinom

Pagurone Syeh Lemah Bang,
Wejangane tanpa rericik,
Lan wus atinggal sembahyang,
Rose kewala liniling,
Meleng tanpa aling-aling,
Wus dadya Paguron Agung,
Misuwur kadibyannya,
Denira talabul’ilmi,
Wus tan beda lan sagunging aulia.

Sangsaya kasusreng janma,
Akeh kang amanjing murid,
Ing praja praja myang desa,
Malah sakehing ulami,
Kayungyun ngayun sami,
Kasoran kang Wali Wolu,
Gunging Paguronira,
Pan anyuwungaken masjid,
Karya suda kang amrih agama mulya.

Santri kathah keh kebawah,
Mring Lemah Bang manjing murid,
Ya ta Sang Syeh Siti Jenar,
Sangsaya gung kang andasih,
Dadya imam pribadi,
Mangku sa-reh bawahipun,
Paguroning Ilmu Khaq,
Kawentar prapteng nagari,
Lajeng karan Sang Pangeran Siti Jenar.

Satedhaking Majalengka,
Kalawan dharahing Pengging,
Keh prapta apuruhita,
Mangalap kawruh sejati,
Nenggih Ki Ageng Tingkir,
Kalawan Pangeran Panggung,
Buyut Ngerang Ing Betah,
Lawan Ki Ageng Pengging,
Samya tunggil paguron mring Siti Jenar.

Ing lami-lami kawarta,
Mring Jeng Susuhunan Giri,
Gya utusan tinimbalan,
Duta wus anandhang weling,
Mangkat ulama’ kalih,
Datan kawarna ing ngenu,
Wus prapta ing Lemah Bang,
Duta umarek mangarsa,
Wus apanggih lan Pangeran Siti Jenar.

Nandukken ing praptaning,
Dinuteng Jeng Sunan Giri,
Lamun mangkya tinimbalan,
Sarenga salampah mami,
Wit Jeng Sunan miyarsi,
Yen paduka dados guru,
Ambawa Imam Mulya,
Marma tuwan den timbali,
Terang sagung ing pra Wali sadaya.

Prelu musyawaratan,
Cundhuking masalah ilmi,
Sageda nunggil seserepan,
Sampun wonten kang sak serik,
Nadyan mawi rericik,
Apralambang pasang semu,
Sageda salingsingan,
Pangeran Siti Jenar angling,
Ingsun tinimbalan Sunan Giri Gajah.

Apa tembunge maring wang,
Ature duta kekalih,
Inggih maksih Syeh Lemah Bang,
Pangeran Siti Jenar angling,
Matura Sunan Giri,
SYEH LEMAHBANG YEKTINIPUN,
ING KENE ORA ANA,
AMUNG PANGERAN SEJATI,
Langkung ngungun duta kalih duk miyarsa.

Andikane Syeh Lemah Bang,
Wasana matus aris,
Kados pundi karsandika,
Teka makaten kang galih,
Wangsulan kang sayekti,
Pangeran ngandika arum,
Sira iku mung saderma,
Aja nganggo mamadoni,
INGSUN IKI JATINING PANGERAN MULYA.

Duta kalih lajeng mesat,
Lungane datanpa pamit,
Sapraptaning Giri Gajah,
Marek ing Jeng Sunan Giri,
Duta matur wot sari,
Dhuh pukulun Jeng Sinuhun,
Amba sampun dinuta,
Animbali Syeh Siti Brit,
Aturipun sengak datan kanthi nalar.

Terjemahan :

Perguruan Syeh Lemah Bang,
Wejangannya tanpa menggunakan perlambang
( simbolisasi dan langsung ke inti sarinya ilmu ),
Sholat syari’at tidak dipentingkan,
Inti sarinya saja yang dihayati,
Sangat gamblang, jelas dan tidak ditutup-tutupi lagi,
Sudah menjadi Perguruan Besar,
Terkenal kehebatannya,
Kedalaman Ilmu beliau,
Sudah tak ada beda dengan para Aulia.

Semakin terkenal ditengah masyarakat,
Banyak yang datang menjadi murid,
Berasal dari kota sampai ke pelosok pedesaan,
Bahkan banyak para ulama,
terpikat dan masuk menjadi pengikut,
Kalahlah Delapan Wali yang lain,
Karena kebesaran perguruannya,
Masjid para wali ditinggalkan,
Membuat surut pengikut para Wali yang
katanya membawa agama paling mulia.

Banyak para santri yang menjadi pengikut,
Menjadi murid Syeh Lemah Bang,
Adapun Sang Syeh Siti Jenar,
Semakin banyak yang mencintai,
Beliau menjadi Imam tunggal,
Jadi panutan para murid,
Perguruannya mengajarkan Ilmu Khaq ( Ilmu Sejati ),
Terkenal diseluruh wilayah negara,
Beliau mendapat sebutan,
Sang Pangeran Siti Jenar.

Seluruh keturunan Majalengka ( Majapahit ),
Termasuk keturunan dari Pengging,
Banyak yang terpikat oleh beliau,
Datang menimba ilmu pengetahuan sejati,
Seperti Ki Ageng Tingkir,
Juga Pangeran Panggung,
Buyut Ngerang dari daerah Butuh,
serta Ki Ageng Pengging,
Menjadi satu paham dengan beliau.

Lama-lama terdengar juga,
Oleh Kangjeng Susuhunan Giri,
Beliau segera memanggil utusan,
Sang duta sudah mendapatkan
pesan yang harus disampaikan,
Berangkatlah dua orang ulama,
Tidak diceritakan di perjalanan,
Sudah sampai di Lemah Bang,
Sang duta mendekat dihadapan,
Setelah bertemu langsung dengan Pangeran Siti Jenar.

Menyampaikan maksud kedatangannya,
Diutus Jeng Sunan Giri,
Bahwasanya Pangeran Siti Jenar diharapkan menghadap,
Berangkat bersama kami,
Sebab Jeng Sunan Giri telah mendengar,
Bahwasanya paduka ( Pangeran Siti Jenar )
telah menjadi Guru Agung,
Menjadi Imam Mulia,
Oleh karena itu tuan dipanggil,
Untuk bermusyawarah menyelesaikan kesalah
pahaman dengan Para Wali semua.

Berembug untuk menyatukan pemahaman,
Supaya tidak terjadi perpecahan,
Agar tercapai kesepahaman,
Jangan sampai timbul fitnah,
Walaupun Ilmu yang diajarkan memakai metode berbeda,
menggunakan kata-kata kiasan dan perlambang,
Intisari-nya jangan sampai berbeda makna,
Pangeran Siti Jenar berkata,
Aku dipanggil Sunan Giri Gajah,

( Sunan Giri Gajah, salah satu nama lain Sunan Giri Kedhaton. Ada cerita simbolik mengenai hal ini.Konon, Sunan Giri tengah menggendong anaknya yang terus-terusan menangis. Karena tak juga berhenti, maka Sunan Giri menyabda sebuah batu menjadi gajah. Melihat batu berubah menjadi gajah. Anak Sunan Giri diam tangisannya. Namun, gajah tersebut kemudian berubah menjadi batu lagi Simbolisasinya, Sunan Giri didesak oleh para ulama-ulama yang lain untuk segera membentuk Kekhalifahan Islam. Sunan Giri menurutinya. Dan, diamlah desakan-desakan itu. Walaupun ternyata, kebesaran Giri Kedhaton yang seumpama besarnya seekor gajah, ternyata hanya sekejap saja.

Apa panggilan Sunan Giri kepadaku?,
Kedua duta menjawab,
Beliau memanggil Syeh Lemah Bang,
Pangeran Siti Jenar berkata,
Katakan kepada Sunan Giri,
SYEH LEMAH BANG SESUNGGUHNYA,
DISINI TIDAK ADA,
YANG ADA PANGERAN SEJATI
(TUHAN YANG SESUNGGUHNYA),
Terkejut keheranan kedua duta.

Mendengar kata-kata Syeh Lemah Bang,
Lantas berkata,
Bagaimana maksud anda ?
Sampai bisa berkata demikian?
Tolong berikan penjelasan kepada kami,
Pangeran Siti Jenar berkata lembut,
Kalian hanyalah utusan,
Jangan membantah,
INGSUN (AKU) INI SESUNGGUHNYA PANGERAN MULYA
( TUHAN YANG MAHA MULIA ).

Kedua utusan lantas keluar,
Pergi tanpa berpamitan,
Sesampainya di Giri Gajah,
Mendekat kepada Jeng Sunan Giri,
Utusan menghaturkan hasil tugasnya dari awal sampai akhir,
Dhuh Yang sangat kami hormati dan yang menjadi junjungan kami,
Kami sudah tuan utus,
Memanggil Syeh Siti Brit ( Brit ; Merah ),
Jawaban beliau memanaskan telinga dan tidak memakai nalar.

Nama besar Syeh Siti Jenar berkumandang keseluruh wilayah Majapahit dan Pajajaran. Bukan hanya penganut Islam, para pemeluk agama Hindhu dan Buddha-pun sangat menghormati beliau. Sunan Kalijaga sering bertandang ke Pesantren Krendhasawa. Kedua tokoh ini, ibarat kakak adik yang tidak bisa dipisahkan.

Kedekatan dua tokoh besar yang sangat disegani oleh seluruh masyarakat Majapahit, sangat merisaukan Dewan Wali Sangha. Apalagi ketika dua tokoh itu, mengumandangkan ajaran Islam yang mengakui segala persamaan dengan agama lain, Dewan Wali sedikit berang. Dewan Wali Sangha masih menganggap Islam adalah segala-galanya, tidak bisa disamakan dengan agama lain.

Dan ketika Sunan Giri mendengar Syeh Siti Jenar mengajarkan esensi Islam yang sesungguhnya tidak berbeda dengan esensi agama lain, maka diutuslah duta untuk memanggil beliau agar menghadap ke Giri Kedhaton.

Syeh Siti Jenar sengaja mengeluarkan ucapan yang sangat dalam, ucapan esensial kepada kedua utusan Sunan Giri, untuk mencoba mereka, apakah mereka juga telah mendapatkan wejangan serupa dari Sunan Giri? Ternyata, kedua utusan masih mentah. Masih bengong dan kebingungan. Jelas sudah, Dewan Wali Sangha hanya mengajarkan kulit luar Islam. Kulit luar yang akan memicu perpecahan, memicu ego spiritual, memicu sikap eksklusifisme, karena bagaimanapun juga, pada tataran ‘kulit’, pastilah akan tampak perbedaan yang mencolok.Jika tidak didalami, jika tidak ditingkatkan lagi, mereka akan terjebak, terjebak pada kulit semata. Ini bisa menyesatkan. Namun, malahan Syeh Siti Jenar yang dianggap sesat. Menggelikan.

Mendengar Syeh Siti Jenar mengucapkan kata-kata yang sangat tinggi kepada kedua ulama utusan Sunan Giri, Sunan Kalijaga segera bertandang ke Cirebon. Beliau menanyakan kebenaran berita itu. Dan Syeh Siti Jenar membenarkannya. Sunan Kalijaga menasehati, agar berhati-hati mengeluarkan ucapan, karena para pengikut PUTIHAN, banyak yang masih terjebak kulit. Mereka tidak memahami esensi Islam. Dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah bagi diri Sang Syeh. Namun Syeh Siti Jenar menjawab itu semua memang beliau sengaja untuk menyentil Sunan Giri. Syeh Siti Jenar tahu, Sunan Giri paham akan ucapan beliau, dan Syeh Siti Jenar ingin melihat reaksi pemimpin Dewan Wali Sangha itu.

Kedua utusan Sunan Giri telah sampai di Giri Kedhaton. Keduanya menghadap Sunan Giri dan kisahpun berlanjut seperti dibawah ini :

Kinanthi.

Makaten wiraosipun,
Heh sira dhuta kekalih,
Ingsun mengko tinimbalan,
Ing ngarsa Jeng Sunan Giri,
Matura yen ora ana,
Kang ana Pangeran Jati.

Sakala kawula rengu,
Paran kang dados pamanggih,
Dene ngaken Pangeran,
Ulun nunten den wangsuli,
Sira iku mung saderma,
Ngaturake ala becik.

Wau sapamyarsanipun,
Legeg Jeng Susuhunan Giri,
Jaja bang mawinga-winga,
Kadya age den tedhaki,
Rinapa pra auliya,
Dhuh Sang Ambeg Wali Mukmin.

Den sabar penggalihipun
Inggih katandha rumiyin,
Kekencengane ing tekad,
Gampil pinanggih ing wingking,
Yen sampun kantenan dosa,
Kados boten makalahi.

Leleh ing penggalihipun,
Myarsa sabdaning Pra Wali,
Jeng Sunan Ing Giri Gajah,
Dhuta kinen wangsul malih,
Animbali Syeh Lemah Bang,
Ujare kinen nuruti.

Jangji seba ngarsaningsun,
Ujare ywa mindho kardi,
Dhuta lajeng nembah mesat,
Sampun prapta ing Siti Brit,
Panggih lawan Syeh Lemah Bang,
Nandukken dennya tinuding.

Mring Sunan Giri Kedhatun,
Pangeran dipun timbali,
Sarenga salampah kula,
Pangeran Siti Jenar angling,
Mengko Pangeran tan ana,
Kang ana Syeh Siti Brit.

Dhuta tan sawaleng wuwus,
Sarehning sampun wineling,
Inggih mangkya Syeh Lemah Bang,
Kang wonten dipun timbali,
Ngandika Syeh Siti Jenar,
Pangeran tan amarengi.

Awit Syeh Lemah Bang iku,
Wajahing Pangeran Jati,
Nadyan sira ngaturana,
Ing Pangeran Kang Sejati,
Lamun Syeh Lemah Bang ora,
Masa kalakona yekti.

Dhuta ngungun lajeng matur,
Inggih kang dipun aturi,
Pangeran lan Syeh Lemah Bang,
Rawuha dhateng ing Giri,
Sageda musyawaratan,
Lan sagunging Para Wali.

Pangran Siti Jenar nurut,
Lajeng kering dhuta kalih,
Praptane ing Giri Gajah,
Pepekan kang Para Wali,
Pangeran Ing Siti Jenar,
Anjujug Jeng Sunan Giri.

Lajeng ingandika arum,
Bageya Pangeran kang prapti,
Rawuhe ing ngarsaningwang,
Pangeran Siti Jenar angling,
Dhuh Pukulun sama,
Sama tumeka suka basuki.

Jeng Sunan ngandika arum,
Marma sanak sun aturi,
Kasok karoban ing warta,
Yen andika teki-teki,
Makiki nangkar Ilmu Khaq,
Dadi paguron sabumi.

Ngasoraken Wali Wolu,
Mandar bawa Imam Suci,
Datan asuci Jumungah,
Saestu ngong anjurungi,
Pira-pira sira bias,
Alim ngelem Para Wali.

Pangeran Siti Jenar matur,
Nggen amba purun mbawani,
Medhar Gaibing Pangeran,
Awit Allah sipat Asih,
Asih samining tumitah,
Saben titah angranggoni.

Nganggowa ugering ilmu,
Kang abuntas den atitis,
Sampun ngantos selang sebat,
Mindhak abebingung piker,
Amet ansar dadi sasar,
Karana kurang baresih.

Pedah punapa mbebingung,
Ngangelaken ulah ilmi,
Jeng Sunan Giri ngandika,
Bener kang kaya sireki,
Nanging luwih kaluputan,
Wong wadeh ambuka wadi.

Telenge bae pinulung,
Pulunge tanpa ling-aling,
Kurang waskhitha ing cipta,
Lunturing Ilmu Sejati,
Sayekti kanthi nugraha,
Tan saben wong anampeni.

Pangran Siti Jenar matur,
Paduka amindho kardi,
Ndadak amerangi tatal,
Tetelane ing dumadi,
Dadine saking nugraha,
Punapa boten ngalami.

Sunan Giri ngandika rum,
Yen kaya wuwusireki,
Tan kena den nggo rerasan,
Yen ngebreh amedhar wadi,
Pangeran ora Kuwasa,
Anane tanpa ling-aling.

Endi kang ingaran Luhur,
Endi kang ingaran Gaib,
Endi kang ingaran Purba,
Endi kang ingaran Bathin,
Endi kang ingaran Baqa’,
Endi kang ingaran Lathif.

Endi kang ingaran Besus,
Endi ingaran Birahi,
Yen Baqa’ mbabar walaka,
Bakal bubur tanpa bibit,
Mangka Pangeran Kang Nyata,
Ora kena den rasani.

Pan Ora kena dinumuk,
Anane wahana Gaib,
Matur Pangran Siti Jenar,
Sedya purun amabeni,
Bantahan masalah rasa,
Sinapih kang Para Wali.

Dhuh sanak sekalihipun,
Ywa tansah aben prang sabil,
Prayogi kanyatakena,
Wonten ing nggon kang asepi,
Samun sepen sepi hawa,
Sarahsa saged anunggil.

Wonten kawekasanipun,
Yen mukid yekti karadin,
Jeng Sunan Ing Giri Gajah,
Wrin kedhaping sambaing liring,
Sabdaning Pra Auliya’,
Lajeng angandika aris.

Heh Syeh Lemah Bang,
Sireku aja pijer madoni,
Besuk ing ari Jumungah,
Padha musyawaratan batin,
Yekti katandha kanyata,
Lelere asmareng ilmi.

Terjemahan :

(Kata sang duta), Begini jawaban beliau,
Hai kalian para duta berdua,
Aku dipanggil menghadap,
Dihadapan Sunan Giri,
Katakan bahwasanya aku tidak ada,
Yang ada PANGERAN JATI (TUHAN YANG SESUNGGUHNYA).

Seketika hamba berdua terkejut,
Bagaimana bias berpikiran demikian,
Mengaku sebagai PANGERAN (TUHAN),
Hamba lantas diberi jawaban,
Kalian berdua hanya sekedar utusan,
Kewajibannya hanya menyampaikan saja.

Setelah mendengar hal tersebut,
Tertegun Jeng Susuhunan Giri,
Dada bergemuruh membara,
Tidak sabar ingin menemui Syeh Siti Jenar sendiri,
Para Auliya (Wali) menyabarkan,
Duh yang menjabat sebagai Wali Mukmin ( Wakil para orang-orang beriman ).

Mohon sabarkan hati,
Seyogyanya dibuktikan dulu,
Apa maksud Syeh Siti Jenar berkata demikian,
Gampang memberikan keputusan hukuman kelak,
Apabila sudah jelas dosa (kesalahan)-nya,
(Dan jika memang sudah terbukti ) tidak menjadi soal lagi untuk menjatuhkan sangsi.

Reda kemarahan (Sunan Giri),
Mendengar sabda Para Wali,
(Oleh) Jeng Sunan Giri Gajah,
Utusan disuruh kembali lagi,
Memanggil Syeh Lemah Bang,
Apapun yang dikatakan supaya dituruti.

Asalkan bias menghadap kepadaku (Sunan Giri),
Jangan sampai mengulang kegagalan,
Utusan lantas menghaturkan sembah dan berangkat,
(Telah) sampai di Siti Brit,
Bertemu dengan Syeh Lemah Bang,
(Lantas) menghaturkan maksud mereka diutus kembali.

Oleh Sunan Giri Kedhaton,
PANGERAN (TUHAN) dipanggil menghadap,
Berangkatlah bersama kami,
Pangeran Siti Brit menjawab,
Saat ini PANGERAN tidak ada,
Yang ada Syeh Siti Brit.

Para utusan tidak membantah perkataan lagi,
Karena sudah diwanti-wanti (oleh Sunan Giri),
Jikalau sekarang yang ada Syeh Lemah Bang,
Syeh Lemah Bang dipanggil menghadap,
Berkata Syeh Siti Jenar,
PANGERAN (TUHAN) tidak membolehkan.

Sebab Syeh Lemah Bang itu,
Wajah Tuhan Yang Sesungguhnya,
Walaupun engkau memohon,
Kepada Tuhan Yang Sesungguhnya,
Namun apabila tidak memohon kepada Syeh Lemah Bang,
Sungguh tidak akan terlaksana.

Para utusan terheran-heran lantas berkata,
Sesungguhnya yang diharapkan,
PANGERAN (TUHAN) dan Syeh Lemah Bang,
Bertandang ke Giri,
Untuk bermusyawarah dengan segenap Para Wali.

Pangeran Siti Jenar menurut,
Dengan diiringi kedua utusan beliau berangkat,
Sesampainya di Giri Gajah,
Para Wali sudah menanti,
Pangeran Siti Jenar,
Menghadap Jeng Sunan Giri.

Lantas ( Sunan Giri ) menyambut dengan berkata ramah,
Semoga senantiasa sejahtera kepada Pangeran (Siti Jenar),
Yang tengah datang dihadapan kami ini,
Pangeran Siti Jenar menjawab,
Duh yang hamba hormati sama-sama,
Sama-sama semoga mendapatkan kebahagian dan keselamatan.

Jeng Sunan (Giri) berkata manis,
Sebab mengapa saudaraku aku undang kemari,
(Sebab) sangat santer terdengar,
Apabila saudaraku tengah ber-olah batin,
Mengajarkan Ilmu Khaq ( Ilmu Sejati ),
Mendirikan sebuah perguruan (yang sangat terkenal) dimuka bumi.

Mengalahkan Para Wali yang lain,
Memegang jabatan sebagai Imam Suci,
Kesucian hari Jum’at-pun seolah tertandingi,
Benar-benar kami mendukung,
Apa saja yang saudaraku kerjakan,
Para Wali menyanjung-nyanjung.

Pangeran Siti Jenar berkata,
Sebab mengapa hamba berani,
Membuka Gaib Tuhan,
Sebab Allah bersifat KASIH,
KASIH kepada semua makhluk,
Setiap makhluk mendapatkannya.

(Hamba hanya ingin) mengajarkan ilmu sesuai dengan ketentuan,
Secara lengkap dan gamblang,
Jangan sampai asal-asalan,
(Sehingga) membuat kebingungan para murid,
Memakai ‘kulit’ (syari’at) berlebihan malah akan menyesatkan,
Sebab apa yang diajarkan kurang jelas.

Apa untungnya membuat bingung,
Mempersulit mereka yang menimba ilmu (Sejati),
Jeng Sunan Giri berkata,
Benar apa yang kamu katakan,
Akan tetapi sangat-sangat dipersalahkan,
Manusia yang sembrono membuka rahasia.

Hanya mengambil inti sari,
Inti sari diambil tanpa memakai ‘kulit’ apapun,
(Hal) itu akan membuat kurang tajam kecerdasan para murid,
Turunnya Ilmu Sejati,
Sungguh harus disertai anugerah,
Tidak setiap orang boleh menerima.

Pangeran Siti Jenar menjawab,
Perkatan paduka bertolak belakang (inkonsisten),
Seperti hendak menghitung serpihan-serpihan kayu sisa digergaji (artinya : merepotkan),
Bukankah sesungguhnya seluruh makhluk,
Tercipta karena anugerah,
Apakah tidak menyadari?

Sunan Giri berkata manis,
Apa yang kamu ucapkan (kepada kedua utusan),
Tidak boleh dibuat percakapan,
Apabila lancang membuka rahasia,
(Maka seolah-olah) Tuhan tidak Maha Kuasa,
Keberadaan-Nya seolah-olah tidak rahasia.

Maka seakan-akan tidak ada lagi konsep Keluhuran,
Seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Gaib,
Seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Berkuasa,
Seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Rahasia,
Seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Kekal,
Seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Halus.

Maka seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Cerdas,
Ujung-ujungnya etika moral juga akan rusak,
Apabila Maha Kekal ( Al-Baqa’: Bhs. Arab) menjadi Walaka ( Bhs. Sanskerta, yang artinya umum, lumrah, remeh. ),
Bakalan bubar tanpa benih,
Padahal Tuhan Yang Sesungguhnya,
Tidak bisa dibuat percakapan.

Tidak bisa diraba dengan tangan kasar,
Keberadaannya berada diranah Gaib,
Berkata Syeh Siti Jenar,
Hendak berniat berdebat tentang Ilmu Rasa ( Ilmu Sejati),
(Namun) dilerai oleh Para Wali.

Duh kedua saudaraku,
Jangan terus-terusan berdebat,
Seyogyanya dinyatakan sendiri ( Hakikat Tuhan itu ),
Ditempat yang sepi,
Yaitu maksudnya sepinya diri dari hawa nafsu,
Dalam kondisi seperti itu pasti akan nyata kesatuan-Nya dengan kita.

Hal ini bisa dicapai,
Apabila kita benar-benar telah berpasrah total,
Jeng Sunan Giri Gajah,
Melihat isyarat leraian,
Melalui ucapan Para Auliya’,
Lantas berkata lirih.

Heh Syeh Lemah Bang,
Jangan hanya bisa membantah,
Nanti pada hari Jum’at,
Datanglah lagi untuk bermusyawarah tentang Ilmu Bathin,
Pasti akan kelihatan nyata,
Siapa yang benar-benar memahami Ilmu Sejati.

Selanjutnya .............Dia Yang Tak Terbayangkan