Jalan Simpang
SÊRAT
GATHOLOCO
Diambil
dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah
ke aksara Latin oleh :
RADEN
TANAYA
PUPUH V
Asmaradana
1. Rehning sira
wis ngakoni, benjang lamun sira
pêjah, rasakna badanmu kuwe,
Kalawan cahyamu gêsang,
obah-osiking manah, anggawa lapal Suksmamu,
munggah mring suwarga loka.
Karena kamu sudah
mengakui, kelak manakala kamu meninggal, Rasa badanmu (Sthula
Sariira/Jasad),
berikut Cahaya Hidup (Atma Sariira/Ruh), serta segala sensasi pikiranmu,
terbawa pula Suksma
(Suksma Sariira/Nafs)mu, naik ke Surga.
2. Sang Ijaril
ingkang ngirid, sowan ngarsane Hyang Suksma,
yen mangkono sira
kuwe, ora ngamungna
neng dunya, olehmu dadi
bangsat, aneng akherat dadi
pandung, anggawa dudu duweknya.
Sang (Malaikat) Izrail
yang mengiringi, menghadap kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha
Gaib), jika memang begitu dirimu,
tidak hanya didunia saja, dirimu menjadi maling,
diakherat-pun
kamu menjadi maling, karena mengakui menghadapkan sesuatu yang
bukan milikmu
(tapi kamu akui
sebagai hak milik).
(Maksudnya makhluk ini semua
adalah ‘nihil’ alias
‘tidak ada’. Karena semua ini adalah perwujudan Tuhan. Lantas jika
merasa memiliki personalitas
terpisah dengan Tuhan, bukankah itu illusi? Seseorang
yang mengaku
memiliki personalitas sendiri
yang terpisah dengan Tuhan,
mengklaim
punya asset pribadi,
berarti sama saja dengan seorang maling, yang mengklaim sesuatu
yang bukan
miliknya. Dan lagi
bagaimana bisa meng-klaim jika
‘diri-nya’ itu sendiri
‘tidak ada’?)
3. Sira aneng dunya
iki, kadunungan barang gêlap,
ora tuku ora nyileh,
sira anggo
sabên dina,
ing mangka aneng akherat, anggawa
dudu duwekmu, dunya-kherat
dadi bangsat.
Didunia ini
dirimu, ketempatan barang gelap, tidak
beli tidak pinjam, kamu
pakai tiap
hari, sedangkan
diakherat nanti, tetep kamu merasa memiliki yang bukan milikmu, dunia
akherat kamu maling!
4. Tanpa gawe jungkar-jungkir, nêmbah salat madhep keblat, clumak-clumik
kumêcape,
angapalake alip lam, têgêse iku
lapal, angawruhana asalmu, urip
prapteng kailangan.
Tak ada guna jumpalitan (dalam
sembahyang), mendirikan
shalat menghadap kiblat,
komat-kamit bibirnya,
menghafalkan alif lam (maksudnya
doa-doa), sesungguhnya
makna dari ayat-ayat
yang kamu baca (itulah yang harus kamu resapi,
bukan hanya
sehedar dihafal dan
dibaca), karena dari ayat-ayat tersebut kamu akan mengetahui asal,
dan tujuan hidup-mu.
5. Sireku
kaliru tampi, ngawruhi asale wayah,
subuh luhur myang asare, mahrib
lawan bakda isak, sayêkti tanpa guna, sipat urip duwe
irung, padha wêruh marang
wayah.
Dirimu salah mengerti,
sangat-sangat mematuhi waktu-waktu shalat, mulai subuh dzuhur
hingga ashar, maghrib
dan isya’, sungguh tanpa guna, selayaknya hidup memiliki hidung
(maksudnya kepekaan
Kesadaran), untuk memahami makna shalat.
6. Yen mangkono
sira kuwi, mung mangeran marang wayah, tan mangeran Ingkang
Gawe, lamun bêngi sarta awan, pijêr kêtungkul wayah, ora
mikir mring awakmu,
urip prapteng kailangan.
Jikalau demikian
dirimu (yang hanya sekedar mematuhi waktu shalat
dan tidak
memahami makna dari
shalat itu sendiri), hanya ber-tuhan-kan saat-saat shalat semata,
tidak ber-Tuhan-kan
yang membuat waktu, siang dan malam hanya, berfokus mematuhi
waktu-waktu shalat
semata, tidak meniti ke dalam diri, untuk memahami asal kehidupan
dan tujuannya.
7. Rasane
badanmu kuwi, kagungane Rasulullah, cahyane uripmu kuwe, kagunganira
Pangeran,
obah-osiking manah, Muhammad kang
nggawa iku, duwekmu amung
pangrasa.
Rasa badanmu itu
(Sthula Sariira/Jasad), milik/perwujudan Rasulullah (maksudnya Ruh
atau Atma),
Cahaya hidup (Atma
Sariira/Ruh)-mu itu, milik/perwujudan Pangeran
(Tuhan/Brahman/Allah),
segala gerak-gerik batinmu (maksudnya Suksma Sariira/Nafs),
Muhammad yang
menggenggam (Muhammad maksudnya juga Ruh atau Atma), milikmu
hanya ‘Perasaan
memiliki/Illusi’ saja.
(Jika Jasad ini
milik/perwujudan Rasulullah (Ruh),
Ruh milik/perwujudan Allah,
Nafs
milik/perwujudan
Muhammad (maksudnya Ruh juga), sedangkan Allah, Muhammad dan
Rasul itu
tak lain adalah
Allah juga, lantas apa yang hendak kita anggap sebagai
personalitas
makhluk jikalau semua ini adalah PERWUJUDAN ALLAH? Hanya
Illusi
saja yang menjadi milik
para makhluk. ILLUSI MERASA
DIRINYA ADALAH
ENTITAS YANG
TERPISAH DENGAN SEMESTA BAHKAN
DENGAN TUHAN
ITU SENDIRI!)
8. Mangka sira
gawa kuwi, ora
sira ulihêna, balekna
marang Kang Duwe,
yen sira
maksih anggawa, titipan tri prakara, apa sira ora lampus,
Kyai Guru duk miyarsa.
Sedangkan apa yang kamu
akui itu (bahwa memiliki personalitas tersendiri dengan
Tuhan), tetap juga
tidak kamu kembalikan (maksudnya tetap ber-Kesadaran seperti itu),
kepada Dia Yang
Memiliki, jika kamu masih
juga memegang (maksudnya tetap tidak
mau membuka Kesadaran)
dan masih juga mengaku memiliki Triprakara (Tiga Unsur ~
Ruh/Atma, Nafs/Suksma dan Jasad/Sthula) sendiri, akan
abadikah dirimu kelak? Kyai
Guru begitu mendengar
(semua yang diuraikan Gatholoco).
9. Kethune
binanting siti, muring-muring ngucap sora,
Mring ngêndi nggonku
ngulihke, ingsun tan rumasa nyêlang, titipan tri prakara,
Gatholoco gya gumuyu,
Sira urip tanpa mata.
(Kyai Guru) seketika membanting kethu (kopiah)-nya ke tanah! Marah-marah dan
berkata kasar, Kemana aku
mau mengembalikan!! Aku
tidak merasa telah meminjam,
titipan Triprakara tadi, Gatholoco
tertawa geli (mendapati yang diajak
dialog tidak
memahami maksudnya namun malah
marah-marah), Kamu memang hidup
tanpa mata
(maksudnya
Kesadarannya buta)!
10. Upama Padhanging Rawi, asalira saking Surya, sirna
kalawan Srêngenge, kalamun
Padhange Wulan, asale saking Wulan, sirnane kalawan
Santun, bali maneh asalira.
Seandainya Cahaya
Matahari, yang berasal dari Surya,
akan terserap musnah
hilang
kedalam Matahari
kembali, seandainya Cahaya Rembulan, yang berasal dari Rembulan,
akan terserap musna
hilang kedalam Rembulan, kembali keasalnya lagi!
11. Kasan Bêsari nauri, Krana ngapa Rasanira, lan Cahyamu
Urip kuwe, myang obah-
osiking
manah, tan sira ulihêna,
marang Kang Kagungan iku,
Gatholoco asru
nyêntak.
Kasan Bêsari
(Hassan Bashori) berkata, Lantas
sekarang mengapa Rasa Badanmu
(Jasad/Sthula
Sariira), beserta Cahaya Hidup (Ruh/Atma Sariira)-mu, berikut Gerak batin
(Nafs/Suksma
Sariira)-mu, tidak kamu kembalikan (maksudnya masih terlihat nyata dan
belum musnah) kepada Yang
Mempunyai ? Gatholoco keras membentak.
12. Ingsun iki ora wani, ngulihake durung masa, yen tan
ana pamundhute, ingsun wêdi
bok kinira, anampik sihireng Hyang, manawa nêmu sêsiku,
sireku kaliru tampa.
Aku tidak
berani, memusnahkan ini
semua karena belum saatnya, jika tanpa ada
permintaan (dari Yang
Mempunyai Perwujudan), aku
takut nanti dianggap, menolak
kasih Hyang (Tuhan), dan
akan mendapatkan balak, sungguh
kamu yang sebenarnya
tidak paham!
(Tidak paham akan
maksud Gatholoco akan
makna ‘Mengembalikan’
seperti yang telah
diuraikannya diatas).
13. Kang kasêbut
kitab mami, pan saking Nabi Muhammad, Kyai
Guru pangucape,
Salat witri iku iya, salat sakobêrira, Gatholoco alon
muwus, sireku kaliru tampa.
Menurut Kitab-ku, yang berasal dari Nabi Muhammad, Kyai Guru
berkata lagi, Shalat
witir adalah,
shalat yang tidak terikat
waktu (maksud Kyai
Hassan Bashori ada juga
shalat yang tidak
harus berfokus pada waktu, yaitu shalat witir. Jadi salah jika Gatholoco
menganggap dirinya terlau mengagung-agungkan waktu),
Gatholoco menjawab, Sekali
lagi dirimu tidak
paham!
14. Yen mangkono sira kuwi, dudu umat Rasulullah, dene
sira ngestokake, sarengate
Nabi lima, êndi panêmbahira, mring Nabi Muhammad iku,
Kyai Guru saurira.
Bahkan lagi dirimu,
bukanlah ummat Rasulullah, karena dirimu meyakini, dan mengikuti
tingkah laku lima Nabi, mana shalat yang kamu
jadikan untuk mengingat-ingat akan
keagungan, dari
Nabi Muhammad? (Ada
keyakinan beberapa aliran agama Islam,
bahwasanya shalat
Subuh itu meniru Nabi Adam, manakala diturunkan di dunia, belum
tahu mana arah
mata angin, lantas ketika
matahari terbit, Nabi Adam
bersujud syukur
karena tahu mana arah
Timur. Lantas shalat
Dzuhur, meniru Nabi
Nuh, shalat Ashar
meniru Nabi Ibrahim,
shalat Maghrib, meniru Nabi Musa dan Shalat Isya’, meniru Nabi
Isa, dan rupanya keyakinan inilah
yang dianut oleh Kyai
Hassan Bashori, lawan debat
Gatholoco), Kyai Guru
menjawab.
15. Sêmbahingsun salat witri, iya
ing samasa-masa, Gatholoco
pamuwuse, Sira iku
santri
blasar, mangka Nabi Muhammad, têtela
Nabi Panutup, tunggule nabi
sadaya.
Untuk mengingat Nabi
Muhammad adalah shalat Witir, tidak terikat waktu! Gatholoco
berkata, Kamu
santri tersesat, padahal
Nabi Muhammad, jelas-jelas Nabi Penutup,
penutup seluruh Nabi.
16. Parentahe ora sisip,
wus kapacak aneng kitab,
ingkang salah sira dhewe,
kinen
sujud kaping lima, rina wêngi mangkana, esuk-esuk wayah
Subuh, sujud tumrap
maring Adam.
Setiap perintahnya
tidak keliru, sudah jelas didalam semua kitab, yang salah memaknai
adalah dirimu sendiri,
diperintahkan sujud lima kali sehari, siang dan malam, pada saat
pagi hari waktu Subuh,
sujud kepada Adam.
17. Iku dudu Adam Nabi,
adam suwung sujudana, kang
suwung langgêng anane,
marmanira
sinujudan, dene luwih kuwasa, ngilangake pêtêng iku,
kagênten
padhanging surya.
Sesungguhnya
bukan Adam Nabi,
Adam berarti ‘Kosong’ dan sujudlah,
kepada Yang
Maha Kosong dan Yang Abadi Ada-Nya (tersebut), oleh
sebab mengapa wajib untuk
bersujud, karena Yang
Maha Kosong sungguh berkuasa, menghilangkan kegelapan, dan
menggantikannya dengan
terang. (Maksudnya Yang Maha Kosong mampu memberikan
terang kepada
Kesadaran semua makhluk dan mampu mengusir semua kegelapan batin).
18. Panase saya
ngluwihi, saking kuwasaning Allah,
surya iku darma bae,
sakehe
manusa dunya, samya susah sadaya, krana
saking panasipun, Nabi
Muhammad
parentah.
Menjelang tengah hari
(maksudnya dalam pengembaraan Ruh didunia fana) panasnya
sangat-sangat menyiksa
(maksudnya dualitas dunawi sangat membelenggu Ruh), karena
kuasa Allah, Matahari Hanya sarana semata (maksudnya
Dualitas hanya sarana menggembleng
Kesadaran Ruh
saja), seluruh manusia/makhluk didunia,
sangat
menderita
(terombang-ambing dualitas dunia),
karena sangat-sangat panasnya, Nabi
Muhammad
memerintahkan.
19. Marang umatira sami, supaya padha sujuda, marang Kang
Murbeng alame, tatkala
patang
rakangat, kabeh padha nuwuna,
mring sudane panas iku,
lan sudane
dosanira.
Kepada seluruh
ummatnya, agar ditengah hari bersujud, kepada Yang Menguasai Alam
(Dualitas), sebanyak
empat raka’at, seluruh ummat diperintahkan untuk memohon, agar
mengurangi panas
(penderitaan) duniawi, berikut memohon agar dilebur segala dosa-dosa
(seluruh karma
buruk)-nya.
20. Lan padha
nuwuna maning, linanggêngna kaluhuran, kaya
luhure srêngenge,
pramilane lama-lama,
tumurun saya andhap, daya asrêp panasipun, wong
akeh
ngarani Ngasar.
Dan juga agar memohon, tetap
mendapat keluhuran (Tingginya
Kesadaran), bagaikan
luhur (tinggi)-nya
matahari kala tengah hari, lantas sedikit demi sedikit, matahari turun
semakin rendah,
panasnya mulai berkurang (lambang
penderitaan berganti dengan
kesenangan), semua
orang menamakan waktu Ashar.
21. Nabi Muhammad
ningali, parentah mring umatira,
supayane sujud maneh, sarta
padha nênuwuna, langgêng ananing Suksma, lan padha nuwuna
iku, linanggêngna
kaluhuran.
Nabi Muhammad melihat,
lantas memerintahkan kepada ummatnya,
agar kembali
bersujud, dan
agar memohon, kepada Hyang Suksma (Tuhan
Maha Gaib), agar tetap
langgeng
(Ketinggian Kesadarannya walau penderitaan
tengah berganti dengan
kegembiraan).
22. Pangeran Kang
Maha Luwih, angganjar ing asorira,
linanggêngna kamulyane,
dadine bisa kalakyan, tumurun saya andhap, mulane
ngaranan surup, sira padha
sumurupa.
Tuhan Yang Maha Kuasa, mampu
menganugerahkan kemuliaan
dan kehinaan
(Kesadaran), semoga senantiasa langgeng kemuliaan Kesadaran,
agar bisa selamat
sampai tujuan
(Moksha/Jannatun Firdaus),
semakin turun matahari,
dinamakan ‘surup’
(sore), karena
maksudnya ‘sumurupa’ (ketahuilah)!
23. Kuwasanira
Hyang Widdhi, bisa
gawe pêtêng padhang, gawe unggul
lan asore,
kang padhang têgêse gêsang, kang
pêtêng iku pêjah, Nabi
Muhammad andulu,
parentah mring umatira.
Akan kekuasaan Hyang Widdhi,
yang mampu membuat gelap dan
terang, mampu
membuat tinggi dan
rendah, yang ‘terang’ maksudnya ‘Hidup’, yang ‘gelap’ maksudnya
‘Mati’, (Manusia disebut Hidup manakala telah mencapai Terang Sejati, dan
manusia
disebut ‘Mati’
manakala masih terikat jerat
duniawi dan lahir berulang-ulang
di alam
fisik ini), Nabi
Muhammad melihat, lantas kembali memerintahkan kepada ummatnya.
24. Den purih sujuda maning, marang Ingkang Murbeng alam,
dene luwih kuwasane,
bisa gawe
pêtêng padhang, lan gawe pêjah gêsang, bilahi
asor lan unggul, lama-
lama kang baskara.
Agar kembali
bersujud, kepada Yang
Menguasai Alam (Dualitas),
karena kuasa-Nya,
mampu membuat gelap
dan terang, membuat mati dan hidup, hina dan mulia (Dualitas
duniawi), lama-lama
matahari.
25. Jagade datan kaeksi, pêtênge saya katara, amratani
jagad kabeh, manusane alam
dunya, rumasa kasusahan, krana saking pêtêngipun, amarga
suruping surya.
Dunia tak terlihat,
kegelapan semakin merebak, merata diseluruh jagad, seluruh makhluk,
merasa sedih, disebabkan
karena kegelapan tersebut,
gelap karena hilangnya matahari.
(Lambang dari
kegelapan Kesadaran karena pengaruh dualitas duniawi).
26. Sagunge umat nuruti,
nênuwun marang Pangeran, kanthi
nangis panuwune,
mulane ngaranan Ngisa,
tegese Anangisa, marang Ingkang
Murbeng Luhur,
Nênuwun supaya padhang.
Seluruh ummat
menurut, memohon kepada Tuhan,
dengan isak tangis, makanya (bagi
orang Jawa) menyebut
waktu shalat sehabis mahgrib adalah Ngisa, karena saat kegelapan
Kesadaran adalah
saat untuk ‘Anangisa’ (Menangislah), kepada Yang Menguasai
Keluhuran
(Ketinggian), memohon supaya agar tetap diberikan terang (Kesadaran).
27. Kagênten padhanging sasi, sakehe manusa suka,
uninga wulan cahyane, padhang
sarta ora panas, cacade mung pisahan, mulane ingaran
santun, santun warna sabên
dina.
Terang yang
digantikan oleh terangnya Rembulan (maksudnya dalam kegelapan
Kesadaran, terang yang
reduppun sudah cukup
daripada gelap gulita tanpa cahaya
Kesadaran), seluruh
makhluk bisa sedikit bersuka cita, melihat Rembulan dan cahayanya,
walau terang tiada panas, walaupun
tidak stabil, makanya
disebut ‘santun’ (Berubah),
karena cahaya Rembulan
(cahaya Kesadaran yang redup ditengah kegelapan), berubah-
rubah setiap hari.
(Tidak stabil). (Rembulan disebut juga ‘Santun’ yang artinya
‘Berubah-rubah/Tidak stabil’ oleh orang Jawa,
maksudnya Rembulan dilambangkan sebagai
Kesadaran yang redup. Dan Kesadaran yang redup sangat tidak
stabil).
28. Têgêse sasi
samya sih, Kyai
Guru aris mojar, kitab apa pathokane,
Gatholoco
angandika, Barulkalbi arannya, mangrêtine Barul: Laut,
dene Kalbi iku Manah.
Arti ‘Sasi’ (padanan kata Rembulan/Santun) adalah ‘SA-mya SI-h’ (Semua Kasih ~
Maksudnya walaupun ditengah kegelapan sekalipun,
tetaplah menebarkan Kasih.
Walaupun ditengah
Kesadaran redup karena pengaruh
penderitaan duniawi, tetaplah
mengedepankan Kasih), Kyai
Guru pelan bertanya,
Dari Kitab apa semua yang kamu
uraikan tadi? Gatholoco menjawab, (Kitab) Barulkalbi (Bahri
Al-Qalbi), Bahri artinya
Samudera, sedangkan
Qalbi artinya Hati/Kesadaran.
29. Ati kang kaya jaladri, tanpa watês jero jêmbar, lan
maneh akeh isine, Kasan Bêsari
têtannya, sira ora
sêmbahyang, Gatholoco aris muwus,
sêmbahyang langgêng tan
pêgat.
Hati/Kesadaran yang
luas seluas Samudera, tiada batas tiada terukur dalam dan luasnya,
dan sangat-sangat
banyak terkadung isi mutiara, Kasan Besari (Hassan Bashori) bertanya,
Kamu menjalankan
shalat? Gatholoco pelan menjawab, Shalatku langgeng tiada terputus.
30. Sujud-mami
sujud eling, keblatku
têngahing jagad, barêng
napasku sujude,
napasku mêtu mbun-mbunan, salatku mring Pangeran, mêtu
saking utêkingsung,
sêmbahyangku mring Hyang Suksma.
Sujud-ku Sujud Ingat
(Maksudnya Kesadaran yang terus stabil), Kiblat-ku Pusat Semesta
(Maksudnya focus
penyembahan adalah Inti
Dunia dan Inti Makhluk,
tak lain adalah
Brahman/Tuhan), Sujud-ku
diiringi dengan Nafas (Maksudnya Kesadaran ini
saat Ruh
terikat badan
materi, sangat
terkait dengan
nafas. Pengendalian
nafas mampu
mengendalikan Kesadaran
juga. Nafas dan
Kesadaran, saat badan materi
masih
membelenggu Ruh, tidak
bisa dipisahkan), Nafas-ku keluar dari ubun-ubun (Nafas yang
dikendalikan seolah
bukan keluar masuk dari hidung lagi, tapi seolah-olah keluar masuk
dari ubhun-ubun,
menyatu dengan Kesadaran), shalatku menghadap
kepada Tuhan,
keluar dari otakku (Shalat yang terus menerus dilaksanakan keluar
dari Kesadaran),
shalatku menghadap
kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha Gaib).
31. Ingkang mêtu lesan-mami, sêmbahyang mring Rasulullah,
kang mêtu irungku kiye,
ingkang Dzat pratandhanira, iku taline gêsang, kabeh
saking napasingsun, sêbutku
Allahu Allah.
Pujian yang
keluar dari lidahku,
pujian kepada Rasulullah (Ruh),
sama dengan pujian
yang keluar dari hidungku (nafas) ini,
sesungguhnya semua perwujudan
Dzat
(Hidup/Tuhan), nafas adalah
pengikat Hidup (selama ada nafas, selama itu
pula
Hidup/Tuhan/Dzat masih
ada didalam badan materi),
bisa dilihat dari adanya nafas,
pujian nafasku
berbunyi Allahu Allah.
32. Sira padha
ora ngrêti, Rasulullah sabatira, iku durung
linairke, lintang wulan
lawan surya, alam dunya wus ana, yêkti tuwa suryanipun,
iku kang kitab Ambiya.
Kalian semua tidak
mengetahui, Rasulullah (maksudnya Nabi Muhammad) panutan
kalian, saat
belum dilahirkan, seandainya diibaratkan dengan bintang
rembulan dan
matahari, beserta bumi
ini, jelaslah lebih
tua matahari, hal ini tercatat
dalam Kitab
Anbiya’.
33. Kang
tinitahake dhingin, dening Hyang
Cahya Muhammad, iku lawan sakabate,
nanging wujud êRoh samya, neng jroning
Lintang Johar, mangka Lintang Johar
iku, wawadhahe Roh sadaya.
(Sebelum Nabi
Muhammad lahir) yang ada dahulu, adalah
Hyang Cahya Muhammad
(Nur Muhammad ~
Cahaya Terpuji/Cahaya Perwujudan
Tuhan pertama kali yang
merupakan cikal-bakal
semesta raya ~ Purusha dalam istilah Weda), beserta seluruh para
sahabatnya (maksudnya
seluruh Atma-Atma semua), akan
tetapi masih berwujud
Ruh,
berada didalam kandungan
Lintang Johar (Lintang ~
Bintang, Johar/Jauhar ~ Mutiara,
maksudnya juga Nur
Muhammad tersebut), ketahuilah Lintang Johar itu, sumber segala
Ruh makhluk.
34. Babonira saking Urip, dadi saking Nur Muhammad,
lintang rêmbulan srêngenge,
ora liya asalira,
pan saking Nur Muhammad, mangka
Lintang Johar iku, dadi
pusêre Muhammad.
(Nur Muhammad atau
Lintang Johar) adalah perwujudan Hidup (Allah), semesta raya ini
berasal dari Nur
Muhammad, bintang rembulan matahari, tiada lain sumbernya dari sana,
berasal dari Nur
Muhammad, sedangkan Lintang Johar, ibarat pusar (tempat keluarnya)
seluruh semesta.
35. Yen sira
maido mami, dadi
nampikakên sira, mring Kuran sêsêbutane, Kasan
Beêari miyarsa,
rumaos kaungkulan, mangkana denira
muwus, Wis Gatholoco
minggata.
Jikalau kamu
membantahku, sungguh sama saja
kamu menolak, kepada ajaran
Al-
Qur’an, Kasan
Besari (Hassan Bashori)
mendengarnya, merasa kalah, beginilah
dia
akhirnya berkata,
Sudah Gatholoco minggatlah kamu dari sini!
36. Gatoloco
anauri, sun linggih langgare
Allah, kabênêran panggonane, iki
aneng
têngah jagad,
ingsun sênêng kapenak, linggih langgar karo udut,
ngênteni
prentahing Allah.
Gatholoco menjawab,
Aku duduk di
musholla Allah, sangat
nyaman tempatnya, aku
merasa dipusat semesta,
aku merasa nyaman, duduk
didalam musholla sembari
menghisap candu
(spiritualitas), sembari menunggu perintah Allah.
37. Sakala Kasan
Bêsari, sidhakep kendêl kewala,
puwara alon wuwuse, wus dadi
prasêtyaningwang, kalamun bantah kalah, kabeh iki darbekingsun, sira
wajib
mengkonana.
Seketika Kasan
Besari (Hassan Bashori), bersendekap sembari diam,
lantas terdengar
suaranya, Sudah menjadi
janjiku, jikalau aku kalah
berdebat, maka semua ini akan
menjadi milikmu,
dirimu wajib memilikinya.
38. Ingsun rila lair batin, langgar wisma barang-barang,
pasrah sah duwekmu kabeh,
santri murid
ing Cêpêkan, ingkang
sênêng ngawula, mara
sira anggêguru,
wulangên ilmu utama.
Aku rela lahir batin,
musholla rumah berikut seluruh perabotan, aku berikan kepadamu
semua, para santri
murid Cepekan, jika memang hendak tetap berguru, silakah berguru
kepadamu, ajarilah
ajaran utama.
39. Para Kyai mitra
mami, ingsun sumarah kewala, apa
kang dadi karsane,
manira
saiki uga, nêja lunga lêlana, kabeh keriya rahayu, Kasan
Bêsari gya mangkat.
Para Kyai sahabatku
semua, aku sudah pasrah, apa yang menjadi kehendak-Nya, diriku
sekarang juga,
hendak berkelana, semoga
yang aku
tinggalkan disini mendapat
keselamatan, Kasan
Besari (Hassan Bashori) segera berangkat.
40. Nalangsa
rumasa isin, saparan kalunta-lunta, katiwang-tiwang lampahe,
ingkang
kantun ing
Cêpêkan, Gatholoco sineba,
para murid tigang atus,
andêr samya
munggeng ngarsa.
Sangat-sangat malu,
terlunta-lunta dalam
perjalanan, sedih dalam
pengembaraan, yang
ditinggalkan di
Cepekan, Gatholoco dihadap, seluruh
murid sebanyak tiga ratus orang,
bersila rapi berada
dihadapan.
41. Gatholoco sukeng galih, angandika mring sakabat,
Sanak-sanakingsun kabeh, yen
sira arsa raharja,
poma-poma elinga, aywa tiru lir gurumu, anggêpe sawênang-
wênang.
Gatholoco gembira
dalam hati, berkata kepada seluruh sahabat (murid), Wahai saudaraku
semua, apabila dirimu ingin
mendapat ketentraman,
ingat-ingatlah kata-kataku, jangan
meniru tingkah laku
gurumu (Kyai Hassan Bashori), sewenang-wenang kepada sesama.,
42. Kang
mangkono ora bêcik,
ngina-ina mring sasama,
umat iku padha bae, pintêr
bodho bêcik
ala, bêja lawan cilaka,
wong kuli tani priyantun, lanang
wadon ora
beda.
Tingkah yang demikian
tidaklah patut, menghina sesama manusia, seluruh umat itu sama,
pintar bodoh tampan
buruk, yang beruntung dan
yang sengsara, kuli petani
priyayi
(bangsawan), lelaki
maupun perempuan tiada beda.
43. Wus pinêsthi mring
Hyang Widdhi, tan kêna
ingowahana, papêsthene dhewe-
dhewe, mulane bêcik narima, aywa katungkul sira, urip iku
bakal lampus, aneng
dunya ngelingana.
Sudah menjadi ketetapan Hyang Widdhi,
tak bisa dirubah, takdir dari setiap makhluk,
oleh karenanya terimalah, jangan
terus merasa tidak puas,
hidup ini pasti
bakal mati,
hidup didunia selalu
ingat.
44. Aja
jubriya lan kibir, sumêngah nggunggung sarira,
open dahwen panastene,
karêm dora pitênahan,
jail silib melikan, angapusi
agal alus, anggluweh dhêmên
sikara.
Jangan Jubriya (Riya : Suka pamer) dan Kibir (Takabbur : Sombong), senantiasa
menganggap diri
yang paling unggul, suka
mencampuri urusan orang suka sirik dan
gampang tersinggung,
suka berbohong dan memfitnah, jahil suka selintutan dan gampang
mengingini milik
orang lain, suka menipu baik
secara kasar maupun halus,
seenaknya
dan suka bertengkar.
45. Aja pisan
ladak êdir, watak angkuh nguja hawa,
aja warêg mangan sare,
nglakonana
sawatara, ingkang sabar tawakal, ingkang
sumeh aja nepsu, ngajeni
marang sasama.
Jangan sesekali
berlebihan, angkuh dan
suka menuruti keinginan badani,
jangan suka
banyak makan
dan banyak tidur,
jalanilah secukupnya, sabarlah
dan tawakallah, yang
ramah dan jangan jadi
pemarah, hargailah sesama manusia.
46. Aja sira gawe sêrik, aja sira gawe gêla, aja gawe
wêdi kaget, iku aran najis karam,
nyandhang mangan ingkang sah, iku lakune wong ilmu, tan
kêna kanthi sêmbrana.
Jangan membuat
sakit hati sesame,
jangan membuat kecewa sesame, jangan
suka
menakut-nakuti
dan mengagetkan sesame, semua itu najis dan
haram
yang
sesungguhnya! Itulah sesungguhnya yang disebut memakai pakaian
dan memakan
makanan sah (halal)
PUPUH VI
Kinanti
1. Kudu
ingkang nrimeng pandum,
sumarah karsaning Widdhi, manusa
darma
kewala, saikine sun takoni, apa mantêp trusing driya,
ngaku bapa marang mami.
Harus menerima kepada
ketentuan hidup (karma yang kita terima), pasrah kepada Hyang
Widdhi, manusia
sekedar menjalani, sekarang aku hendak bertanya, apakah kalian benar-
benar telah mantap
lahir batin, mengakui aku sebagai bapa kalian?
2. Lamun
sira wus tuwajuh, gugunên pitutur iki, nanging
sira aja samar,
tan kêna
maido ilmi, yen maido kêna cêndhak, uripe kamulyanneki.
Jika memang telah mantap
lahir batin, ikutilah nasehatku
ini, akan tetapi
janganlah
gampang
meremehkan ilmu orang, jika gampang meremehkan ilmu
orang maka akan
mendapat kesempitan,
sempit kemuliaan diri.
3. Kabeh
sira anakingsun, badhenên pasemon
iki, Lamun bêngi ana apa, Yen awan
ingkang ngêbêki, Apa ingkang ora nana, Satuhune iya êndi.
Semua anak-anakku,
jawablah perlambang yang aku uraikan ini, Ada apakah ‘ditengah
keheningan malam’?
Apakah ‘yang meliputi terangnya siang hari’? Apakah sesuatu yang
‘tidak ada’
itu ? Sesungguhnya dimanakah (‘yang ada ditengah keheningan
malam’,
‘yang meliputi
terangnya siang’ dan ‘yang tidak ada’ tersebut?)
4. Doh tanpa
wangên iku, Cêdhak tan senggolan iki, Yen adoh katon gumawang, Yen
cêdhak datan kaeksi, Lamun isi ana apa, Yen suwung luwih
mratani.
Sangatlah jauh tanpa
batasan pasti, Sangatlah dekat namun tak bersentuhan, Jikalau jauh
terlihat berpendar,
Jikalau dekat tiada terlihat, Jika diumpamakan sebuah
‘isi sesuatu’
apakah itu? Jika
diumpamakan ‘kosong’ lebih dari kekosongan dan meliputi semuanya.
5. Lêmbut tan
kêna jinumput, Agal tan kêna tinapsir, Ingkang amba langkung rupak,
Kang ciyut wiyar nglangkungi, Bumbung wungwang isi apa,
Sapa neng ngarêpmu
kuwi.
Sangat halus hingga
tak bisa dijumput (dijumput ~ diambil dengan dua jari dengan sangat
hati-hati karena sangat
kecilnya), Sangat nyata tapi tak bisa dinyatakan, Sangat
lebar
namun juga sempit,
Sangat sempit tapi lebarnya
melebihi semua yang lebar, Ditengah
bilah bambu apa
‘isi’-nya? Bahkan dihadapanmu sekarang (siapakah Dia?)
6. Yen lanang
tan nduwe jalu, Yen wadon tan duwe
bêlik, Iya kene iya kana, Iya
ngarêp iya buri, Iya kering iya kanan, Iya ngandhap iya
nginggil.
Jika lelaki tapi
tak memililiki kelamin laki-laki,
Jika perempuan tak memiliki
kelamin
perempuan, Ada disini
dan ada disana, Ada di depan juga ada dibelakang, Ada dikiri juga
ada dikanan, Ada di
bawah juga ada diatas.
7. Baitane ngêmot
laut, Kuda ngrap pandhêgan nênggih, Tapaking kuntul ngalayang,
Pambarêp adhine ragil, si Wêlut ngêleng ing parang,
Kodhok ngêmuli lengneki.
Perahu memuat
seluruh samudera, Kuda
berlari kencang ditempat pemberhentiannya
(banyak yang salah
tulis dalam setiap primbon ungkapan ini, yaitu KUDA NGÊRAP ING
PANDÊNGAN, padahal
yang benar KUDA NGÊRAP ING PANDHÊGAN (Kuda berlari
Kencang ditempat
pemberhentiannya/kandangnya. PANDHÊGAN ~ TEMPAT
BERHENTI = GÊDHOGAN),
Jejaknya burung bangau yang tengah terbang melayang,
Yang sulung juga
yang bungsu, Belut
mempunyai rumah didalam batu cadas, Katak
menyelimuti rumahnya
sendiri.
8. Wong bisu asru calathu, Jago
kluruk jro ndogneki, Wong picak amilang lintang,
Wong cebol anggayuh langit, Wong
lumpuh ngidêri jagad, Aneng
ngêndi susuh
angin.
Orang bisu tapi
keras suaranya, Ayam jago
berkokok didalam telurnya,
Manusia buta
menghitung bintang
dilangit, Manusia cebol menggapai langit,
Manusia lumpuh
berkeliling dunia,
Dimanakah kediaman angin?
9. Aneng ngêndi
wohing banyu, Myang atine
kangkung kuwi, Golek gêni
nggawa
diyan, wong ngangsu pikulan warih, Kampuh putih tumpal
pêthak, Kampuh irêng
tumpal langking.
Dimanakah inti
air, Dimanakah pusatnya tumbuhan kangkung, Mencari api membawa
pelita, Mencari
air memikul air, Kemben putih
tertutup warna putih, Kemben hitam
tertutup warna hitam.
10. Tumbar isi tompo iku, Randhu alas angrambati, mring
uwit sêmbukan ika, Sagara
kang tanpa têpi, Rambut irêng dadi pêthak, ingkang pêthak
saking ngêndi.
Biji ketumbar berisi wadhahnya,
Pohon randhu hutan
merambat, kepada tumbuhan
simbukan (simbukan
adalah jenis tumbuhan rambat, tapi malah dirambati pohon randhu
hutan), Lautan
yang tak bertepi, Rambut
hitam berubah putih,
warna putih darimana
datangnya?
11. Irênge mring
ngêndi iku, Kalawan kang
diyan mati, urube mring ngêndi
ika, golekana kang pinanggih, yen tan wêruh siya-siya, durung sampurna
kang ilmi.
Dan kemanakah
hilangnya warna hitam tadi?
Dan lagi
jika pelita padam, kemanakah
perginya nyala api?
Carilah hingga ketemu, manakala tidak bisa mengetahui akan sia-sia,
tidak sempurna ilmu
kalian.
12. Ingkang sarah munggeng laut, gagak kuntul saba sami,
duk mencok si kuntul ika, si
gagak ana ing ngêndi, gagak iku nulya têka, si kuntul
mibêr mring ngêndi.
Benda padat memenuhi
samudera, burung gagak dan burung bangau ikut datang,
manakala bangau
bertengger diatas benda padat, burung gagak tiada kelihatan, manakala
burung gagak yang
datang, burung bangau terbang kemana? (Benda padat ~ Jasad materi.
Samudera ~ Dunia
materi. Burung gagak ~ Suksma Sariira/Nafs. Burung Bangau ~ Atma
Sariira/Ruh)
13. Prayoga kudu sumurup,
kabeh sira anak mami, pralambang
iku rasakna, kang
katêmu padha jati, sajatining rasa ika, rasa jroning
jalanidi.
Oleh karenanya harus bisa memahami, wahai kalian
semua anak-anakku, seluruh
perlambang ilmu sejati
ini renungkanlah, jika bisa memahami akan
menemukan
kesejatian, sejatinya
rasa, rasa sejati didalam samudera (hidup).
14. Sasmitanên ingkang wimbuh, kawruhana ucap iki,
kalawan pangrungunira, sarta
paningalmu ugi, tan ana ucap dwi ika, dadi solah
tingkahneki.
Segala rahasia
akan cepat tersingkapkan, benar-benar
perhatikan ucapanku ini, dengan
sepenuh pendengaran,
serta sepenuh penglihatan kamu, tiada lagi kebenaran kedua yang
menjadi sifatnya
(sifat kebenaran sejati itu tunggal, tak mendua).
15. Ora sak tan sêrik iku, tan têsbehmu Dzatullahi, kang
krasa yen datan mangan, den
krasa yen minum nênggih, sêmbahyanga den karasa, den krasa
Dzatullah kuwi.
Jangan ragu jangan
bimbang, bahkan pujianmu itu Dzatullah,
rasakan benar-benar saat
kamu tengah
kelaparan (tak makan ~
ditengah penderitaan), juga
rasakan benar-benar
saat kamu
meminum air (saat gembira),
ditengah bersembahyang-pun rasakanlah,
rasakanlah bahwa semua
ini Perwujudan Dzatullah!
16. Kang wus sawural Allahu, iku aran Salat Daim, ana
maneh ingaranan, Martabate
Kasdu kuwi, lawan Takrul Takyin ika, mangrêtine Kasdu
kuwi.
Yang sudah mampu
melihat semua ini adalah Allah, itu yang dinamakan Sholat Da’im
(Da’iman ~ Abadi/Tak terputus/Tak terbatas
oleh waktu), ada lagi yang disebut
martabat/uraian/tingkatan tentang Kasdu, dan Takrul serta Takyin, yang disebut Kasdu
adalah.
17. Pikarêpe niyat iku,
ciptane ingkang dumadi, dene Takrul
têgêsira, pamêkasing
niyat nênggih, dumadine panggraita, mangrêteni ingkang
Takyin.
Maksud/fokus dari
niyat, kesadaran yang menjadi pegangan, sedangkan Takrul artinya,
akhir dari niyat
tersebut, tercapainya kesadaran sejati, sedangkan Takyin.
18. Iku nyata yen
satuhu, wasesane niyat kuwi, dumadine ingkang cipta, cêthane iku
sayêkti, ingkang Kasdu kuwi Iman, ingkang Takrul iku
Tohid.
Sungguh-sungguh melihat
bukti, kuasa dari niyat,
tercapainya puncak kesadaran,
sesungguhnya, yang
disebut Kasdu adalah Iman (Keyakinan), yang disebut Takrul adalah
Tokid (Tauhid ~
Kesatuan Tunggal).
19. Kang Takyin Makrifat iku, kang Iman yen ana kuwi, ing
niyat ingkang gumlethak,
yêkti iku ora serik, tansah ningali ing Allah, kang Tohid
nênge myang osik.
Yang disebut
Takyin adalah Ma’rifat
(Menyaksikan Kesejatian), iman
yang ada, harus
dibuat niyat
penuh kepasrahan, hilangkan
segala kebimbangan, hanya
melihat kepada
Allah semata, Tauhid
adalah menyadari Kesatuan dari gerak dan diam (makhluk dengan
gerak dan diam Tuhan).
20. Gletheke paningal
iku, pamyarsa pangucapneki, nyata
angên-angênira, ingkang
ngglethakakên Widdhi, myarsa ngucapkên pêsthinya, Allah
tangala ngimbuhi.
Menyadari dengan
penuh kesadaran bahwa semua penglihatan ini,
pendengaran ini
berikut pengucapan
ini, serta seluruh gerak pikiran-pikiran ini, semua adalah perwujudan
Hyang Widdhi,
mendengar hingga berkata, Allah yang menggerakkannya.
21. Dadi aja sak srik iku, tingalira mring Hyang Widdhi,
ana dene kang Makrifat, iku
nênge lawan mosik, anênggih paningalira, pangrungu
pangucapneki.
Jangan ragu-ragu
lagi, fokuskan kesadaran
bahwa semua ini adalah Hyang Widdhi,
sedangkan Ma’rifat,
diam serta gerak kalian, penglihatan, pendengaran pengucapan.
22. Dadi lan ing dhewekipun, têgêse iku sayêkti, Bila
têsbeh lire ika, tan loro kahanan-
neki, apan mung Allah kewala, ingkang mosik mênêng kuwi.
Wujud dan kepribadian
kalian, sesungguhnya nyata adalah, Bila tesbeh (billa tasbih : tak
ada yang dipuji lagi),
sesunguhnya tak ada dua, hanya Allah
saja, yang diam dan
bergerak ini.
23. Pamiyarsa lan
pandulu, nyatane kahanan iki, poma
aja sêrik lan sak, sasmita
sariraneki, kang den ucap ingkang ngucap, tan liya Kang
Maha Suci.
(Berikut)
pendengaran dan penglihatan
kita semua, sangat nyata keadaann ini
semua
(adalah perwujudan
Allah semata)! Jangan ragu dan bimbang lagi, akan rahasia dirimu,
apa yang kamu ucapkan dan
yang mengucapkan, tak lain
adalah Yang Maha Suci itu
sendiri!
24. Kudu ingkang
awas emut, ora nana
liya maning, lamun sira
tinakonan, apa
pangajape Widdhi, mangkene wangsulanira, Pangawruhingsun
mring Widdhi.
Senantiasa waspada dan
ingat dalam kesadaran, bahwasanya tiada lain lagi (semua ini
kecuali Allah). Apabila kamu ditanya Apa yang Hyang Widdhi kehendaki
darimu?
Jawablah, Menyadari
Hyang Widdhi itu sendiri.
25. Kawimbuhan ilmunipun,
Pangeran Kang Maha Suci,
ana maneh soalira, apa
ingkang den arani, sakêcap sarta satindhak, mênêng mung
sagokan kuwi.
Sehingga tercurahkan
ilmu, (Kesejatian akan hakikat) Tuhan Yang Maha Suci, ada lagi
pertanyaan, siapakah
yang, Mengucap dan Melangkah, Berdiam dan Bergerak ini semua?
26. Nulya saurana
gupuh, ujar sakêcap puniki, kang ngucap nênggih Hyang Suksma,
kang mlaku
satindhak Widdhi, kang mênêng
sagokan ika, ingkang wus
angel
nggoleki.
Jawablah, Yang Mengucap, adalah
Hyang Suksma (Tuhan), yang Melangkah
adalah
Hyang Widdhi (Tuhan),
yang Berdiam dan Bergerak, adalah Dia Yang Sulit Dicari.
27. Hyang Suksma ya
dhirinipun, sarta lamun den takoni, pira Martabating
Tingal,
saurana tri prakawis, Tasnip ingkang kaping pisan, Insan
Kamil kaping kalih.
Tak Lain adalah Hyang
Suksma sendiri, manakala ditanya, berapakah
Martabat/tingkatan/uraian Penglihatan
(Ruh)? Jawablah tiga
perkara, Tasnip (Tasnif
:
Penilaian) yang
pertama, Insan Kamil (Insanulkamil : Manusia Sempurna) yang kedua.
28. Kadil Kapri kaping têlu, Tasnip: Idhêp têgêsneki,
Insan Kamil: Kang Sampurna,
iku kaya Roh Ilapi, utawa Tasnip sêmunya, tingal luluh
sampurnaning.
Kadil Kapri (Khadil :
Mengecewakan, Qafri : Gurun, Gurun yang
mengecewakan~maksudnya
penglihatan yang palsu) yang ketiga, Tasnip (Tasnif) artinya
Idhep (Penilaian
Kesadaran untuk melihat),
Insan Kamil adalah
(penglihatan) Yang
Sempurna, sudah
menjadi Ruh ilapi (Ruh Idhofi : Ruh penambah kesempurnaan), atau
Tasnip maksudnya,
penglihatan telah luluh sempurna (kepada Yang Dilihat).
29. Wahyu iku têgêsipun, ingkang paningale sidik, iku têtêp wahyunira, pramilane
samya wajib, den wêninga prabedanya, anggenira aningali.
(Mendapat) wahyu
(penglihatan sejati) maksudnya, bagi mereka yang penglihatan Ruh-
nya jernih, maka disebut tetap mendapatkan wahyu,
oleh karenanya wajib bagi kalian,
mengetahui perbedaan
(penglihatan Ruh diatas), disaat kalian hendak melihat Kesejatian.
30. Mring
Nabi Wali Mukminu,
Nabi têtêp tingalneki, dene para
mundur ika, ing
tingale Wali Mukmin, pira Martabating Lampah, wangsulana
dwi prakawis.
Perbedaan (penglihatan) Nabi Wali
maupun Para Mukmin, bagi
yang sudah mencapai
tingkat
ke-Nabi-an akan stabil penglihatannya, sedangkan dibawah
tingkatan itu masih
labil, yaitu
penglihatan Wali dan Mukmin,
berapakah martabat/tingkatan/uraian
dari
Lelaku
(Riyadloh/Sadhana/Pencarian spiritualitas) itu? Jawablah ada dua perkara.
31. Dhingin kaya gêni iku, kaping kalih kaya angin,
sêmune kang kaya brama, pênêt
panase pribadi, têgêse sira mrih enggal, panrima kasuwen
dening.
Yang pertama bagaikan
api, yang kedua bagaikan angin, yang dimaksud bagaikan api,
mencari inti
panasnya diri pribadi (berjuang membasmi panasnya kegelapan batin),
dengan cara tersebut
akan membuat diri kalian cepat, mencapai tingkat kepasrahan.
32. Ingkang angin
têgêsipun, pênêt tan kêna
pinurih, têgêse wus ora pisan, susah
angulati malih, pira Martabating Badan, saurana tri
prakawis.
Bagaikan angin
maksudnya mencari sesuatu yang ‘Tak dapat dicari’, dimana ‘Yang tak
tak dapat
dicari’ tersebut sesungguhnya
sekali-sekali, tidak perlu
dicari jauh-jauh,
berapakah
martabat/tingkatan/uraian tentang Badan?
33. Wondene ingkang rumuhun, kaya tanggal ping Pat
nênggih, ping dwi kaya tanggal
Sanga, tanggal ping Patbelas ping tri, têgêse tanggal
kaping Pat, tulis lair tulis batin.
Yang
pertama-tama, bagaikan bulan
muncul ditanggal Empat
(memakai perhitungan
sonar system), yang kedua bagaikan bulan
muncul ditanggal Sembilan, yang ketiga
bagaikan bulan
yang muncul ditanggal Empat
belas, maksud bagaikan bulan tanggal
empat ( tangal empat
jawa atau perhitungan kalender menggunakan sonar system, bulan
tidak akan kelihatan) berarti
lahir batin masih nampak tersirat (masih benar-benar
tenggelam pada
material dunia, masih diliputi kegelapan illusi)
34. Kaya tanggal Sanga iku, luluh sirna têgêsneki,
kahananira Pangeran, tanggal ping
Patbelas kuwi, dene sasêjane sama, kaya Kang Ndadekkên
nênggih.
Yang dimaksud bagaikan
tanggal Sembilan (tanggal Sembilan jawa atau menggunakan
perhitungan kalender sonar system, bulan
mulai muncul walau berbentuk
sabit), yang
material mulai luluh
dan sirna oleh karena,
keberadaan Tuhan (mulai nyata), bagaikan
tanggal Empat belas
(tanggal Empat belas jawa atau menggunakan perhitungan kalender
sonar system), seluruh
kehendak telah sama, manunggal sama dengan Yang Menciptakan
Alam! (Illusi telah
tersingkap, bagaikan Bulan Purnama. Tuhan telah mewujud nyata!)
35. Wus tumêka
wangênipun, têkane kawula kuwi,
ora nêja yen dadiya,
dadi Gusti
kang sayêkti, nanging yêkti dadi uga, pira Martabat
Pamanggih.
Sudah mencapai
tingkatan tertinggi, keberadaan Kawula (hamba), tak
disengaja telah
menjadi, keberadaan
Gusti Yang Sejati, dan benar-benar terjadi, berapakah
martabat/tingkatan/uraian
dari Etika Tingkah Laku.
36. Saurana
lima iku, kang dhingin Klêthêking ati,
ingkang kaping kalihira,
Katêpêking lampah
nênggih, Panjriting tangis
ping tiga, Kêthuk nutu ping pat
nênggih.
Jawablah terdiri dari
lima perkara, yang pertama bagaikan
Kegelapan hati, yang kedua
bagaikan Suara langkah
kaki, yang ketiga bagaikan Jerit tangis, yang keempat bagaikan
Suara ketukan
orang menumbuk padi
(jaman dahulu untuk memisahkan
padi dengan
kulitnya, harus
ditumbuk disebuah tempat yang namanya Lesung. Menumbuk padi dalam
istilah orang Jawa
disebut Nutu. Disaat aktifitas menumbuk padi ini, suara ketukannya
akan terdengar indah berirama.
Apalagi jika yang melakukan aktifitas lebih dari
satu
orang. Suara yang terdengar sangat khas.
Suara ketukan menumbuk padi
ini dikenal
dengan sebutan gamelan
Lesung.)
37. Cleret Ngantih ping
limeku, dene Panjriting wong nangis,
lawan Klêthêking
wardaya,
myang Têpêking wong
lumaris, tuhune iku pangucap, martanipun akir
kadi.
Dan bagaikan Pelangi yang kelima,
maksud dari Jerit tangis, dan
juga Kekotoran hati,
serta Suara langkah
kaki, sesungguhnya adalah lambang dari kegelisahan batin yang tak
terucapkan, jika mampu
menyadari hal ini maka pada akhirnya.
38. Kaya Kapilaku iku,
ing tekade kang wus tampi,
Calereting Ngantih ika, lir Sipat
Jamalullahi, Kêethuking nutu upama, wêdale pangucapneki.
(Harus dijadikan) Kaya Kapilaku (Haya’
alkafiilah : Untuk memastikan
rasa malu ~
maksudnya segala
kekotoran hati, jerit
tangis/ketidak terimaan dan
suara langkah
kaki/degub
gemuruh ketidak tenangan adalah hal-hal yang
patut dijadikan obyek
perasaan malu
bagi yang ingin meningkatkan kejernihan diri.
Kekotoran hati, Jerit
Tangis/ketidak puasan
dan Suara Langkah Kaki/degup ketidak tenangan adalah rintangan
mencapai tingkat
kesucian, seharusnya kita malu jika tetap memelihara hal-hal semacam
itu), itulah
ketetapan diri bagi yang hendak
belajar berserah total,
Pelangi maksudnya,
bagaikan sifat
Jamalullah (Jamil : Cantik
~ Jamalullah :
Kecantikan Allah), Suara
ketukan orang menumbuk
padi, lambing dari Ucapan Yang telah keluar.
(Maksudnya, tiga
perlambang awal, 1. Kletheking Ati : Kekotoran Hati, 2. Katepeking
Lampah : Suara Langkah/degup ketidak tenangan, 3.
Panjriting Tangis
: Jerit
Tangis/ketidak puasan, adalah
lambang ketidak murnian diri yang seharusnya sangat
memalukan bagi
manusia yang sadar. Ketidak
murnian ini ada didalam
diri yang
berputar-putar bagai
awan panas menggelora. Lambang ke empat yaitu Kethuking Nutu
adalah Ucapan yang
keluar dari orang yang sadar yang bisa menetralisir segala hal-hal
negative yang
bergelayut didalam diri, sehingga ucapan yang keluar terdengar positif dan
indah, bagai suara
orang menumbuk padi yang merdu. Dan jika hal ini bisa dibiasakan,
maka diri kita nyata telah menjadi
perwujudan Pelangi atau Jamalullah
: Kecantikan
Allah bagi sesama).
39. Nyata ora mamang iku, ora susah angulati, Hyang Agung
Kang Maha Mulya, kang
ngucap iku Allahi, poma aja pindho karya, puniku ingkang
sajati.
Nyata tidak diragukan
lagi, tidak usah susah-susah mencari, Hyang Agung Yang Maha
Mulia, karena ucapan
positif yang keluar dari manusia yang
sadar semacam itu adalah
ucapan Allah, jangan
meragukan lagi, inilah yang sesungguhnya!
40. Martabate bumi
iku, saurana tri prakawis,
Dzating Roh Ilapi ika, kaping pindho
Roh Jasmani, kaping têlu Tanpa Prenah, Tanpa Tuduh Tanpa
Yekti.
Martabat/tingkatan/uraian
dari bumi (maksudnya bumi adalah manusia ini), jawablah tiga
perkara, yang pertama Dzat Roh
Ilapi (Dzat dari Ruh
Yang Menguatkan, maksudnya
perwujudan dari Ruh
Yang Menguatkan, tak lain adalah Nafs/Suksma Sariira. Nafs atau
Suksma Sariira adalah
perwujudan Atma juga sesungguhnya.) Yang kedua Roh Jasmani
(Maksudnya adalah
Jasad/Sthula Sariira, disini diistilahkan sebagai Ruhul Jasmani) dan
yang ketiga Tanpa
Tempat, Tanpa Arah dan Tanpa Ada (Maksudnya Ruh/Atma).
41. Kang aran Muhammad iku, kang Kakiki kang Majaji, iku
nuli saurana, kang aran
Muhammad Nabi, dene kang Kakiki iku, iya Dzatullah Ilapi.
Yang disebut Muhammad
itu, apakah Kakiki (Hakiki : Intisari
Gaib) atau yang Majaji
(Maujudi : yang
berwujud nyata), maka jawablah, yang dinamakan Muhammad
itu
adalah nama seorang
Nabi, tapi hakekatnya yang disebut Muhammad itu, tak lain adalah
Dzatullah Ilapi
(Dzatullahi Al-idhofi : Dzat
Allah Yang Menambah Kekuatan
bagi
semesta atau Energi
Illahi).
42. Nabi Muhammad
puniku, anênggih ingkang Majaji, Dzatullah Jasadi ika, kang
Kakiki kang Majaji, loro-loroning atunggal, nyatane yen
sira kuwi.
Nabi Muhammad itu,
adalah yang berwujud sebagai manusia (ditanah arab), perwujudan
Dzatullah, sedangkan
Muhammad yang Hakiki dan
Maujud, kedua-duanya adalah
tunggal juga, semuanya
ada didiri kalian (seluruh makhluk)
(Maksudnya
Muhammad itu sesungguhnya adalah nama dari
cahaya Allah, yaitu Nur
Muhammad (Nur :
Cahaya, Muhammad : Terpuji).
Inilah inti sari
setiap makhluk.
Hakikat setiap
makhluk. Secara hakikat dia melampaui segalanya, secara wujud nyata,
berwujud seluruh
material semesta termasuk jasad fisik manusia. Maka benarlah jika kita
ini disebut
perwujudan Nur Muhammad. Karena Nur Muhammad itu
tak lain adalah
Allah juga. Dan Ruh
kita ini disebut Rasul Muhammad (Rasul : Utusan, Muhammad :
Terpuji), percikan
dari Allah juga. Oleh karenanya Allah, (Nur) Muhammad dan Rasul
(Muhammad) adalah satu
kesatuan tunggal, dalam Ajaran Syeh Siti Jenar maupun Sunan
Kalijaga, sering hanya disebut ALLAH,
MUHAMMAD, RASUL saja. Ada lagi
yang
disebut Muhammad, yaitu
seorang Nabi yang pernah hidup
ditanah Arab dan yang
mengajarkan agama
Islam)
43. Ingkang
Tanpa Prênah iku, lawan Tanpa
Tuduh kuwi, ing Kakekate Dzatu’llah,
tan liya pêsthi sireki, krana sajatine sira, poma aja
pindho kardi.
(Kalianlah) perwujudan
Yang Tanpa Tempat, Yang
Tanpa Arah, kalian adalah
perwujudan kesejatian
Dzatullah, tiada lain kalian semua ini, itulah sesungguhnya kalian,
jangan ragu-ragu lagi.
44. Martabat Nugrahan iku, lamun sira den takoni, pira
nugrahaning Sadat, saurana
tri prakawis, iku ingkang ping sapisan, Ngêningake Iman-neki.
Martabat/tingkatan/uraian
Anugerah itu, manakala kalian ditanya, ada berapa Anugerah
Sahadat, jawablah tiga
macam, yang pertama Menjernihkan Iman.
45. Ping dwi Ngeningken Tyasipun, ana
dene kang kaping tri,
Nglampahake
Panggaotan, Nugrahaning Salat
nênggih, saurana tri
prakara, Mêgat Karsa ingkang dhingin.
Yang kedua
Menjernihkan Hati/Kesadaran, dan yang ketiga
Menjalankan/mempraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari. (Sahadat
adalah kesaksian
diri, dimana sahadat
sejati adalah Tiada Yang Lain di Alam ini kecuali Allah, dan Ruh-ku
ini adalah
Utusan Allah. Kesaksian ini harus diimplementasikan kedalam
kehidupan
sehari-hari, dengan
jalan, pertama Menjernihkan Keyakinan bahwasanya semua makhluk
ini adalah
perwujudan Allah dan utusan
Allah, maka semua tiada
beda, kedua
menjernihkan
Kesadaran, dimana kita harus benar-benar melihat aku adalah kamu kamu
adalah aku,
tak ada beda dan yan ketiga
harus benar-benar dipraktekkan didalam
kehidupan sehari-hari dengan jalan
menebarkan Kasih tiada
henti. Jika bisa
melaksanakan hal
ini, jelas bisa disebut Mendapat
Anugerah dari memahami Sahadat
Sejati), Anugerah
Shalat sekarang jika ada yang
bertanya, jawablah tiga macam,
Mengontrol keinginan
duniawi yang pertama.
46. Tinggal Cipta kalihipun, Amadhêp ingkang kaping tri,
Nugrahaning Takbir pira,
saurana tri prakawis, dhingin Kawruh dwi Kawruhnya,
Jatining Wêruh kaping tri.
Meningalkan
segala Kesadaran
rendah yang kedua, dan yang ketiga Mantap lahir batin,
Anugerah Takbir
(Mengagungkan Allah) ada berapakah, jawablah tiga macam, pertama
Pengetahuan yang kedua Yang Mengetahui, Yang ketiga
Hakikat Yang Hendak
Diketahui. (Maksudnya, manusia bisa disebut menerima Anugerah dalam memahami
Cara Pengagungan Allah
jika bisa menyadari
Pengetahuan yang benar, memahami
hakikat dirinya
sebagai Yang Mencari Tahu, dan yang ketiga memahami siapa hakikat
Yang Hendak Diketahui
itu)
47. Pituturku durung rampung, nanging iku bae dhisik,
krana ingsun arsa lunga, ora
lawas ingsun bali, mrene maneh mulang sira, dimene imbuh
mangrêti.
Wejanganku belum
selesai, akan tetapi ini dulu, sebab aku hendak pergi, tidak akan lama
aku akan kembali,
kembali ke sini untuk mengajar kalian lagi, agar semakin bertambah
kesadaran kalian.
Sambung Bagian Keempat