Keberadaan Tuhan

KEBERADAAN TUHAN


Spiritualisme sebagai Akar dan Substansi Agama. Agama, dalam pandangan beberapa teori sejarah agama-agama, menempatkan spritulitas sebagai akar dari setiap agama (lihat: Teori Animisme dan Dinamisme). Teori tersebut melihat agama sebagai wujud dari kesadaran manusia akan adanya dan otonomi spirit dalam kehidupaan manusia, bahkan dalam mekanisme alam raya. Pada tahap selanjutnya kesadaran spiritual tersebut menempatkan agama sebagai “upaya” manusia untuk senantiasa berhubungan dengan Realitas Mutlak, sebagai akar atau asas dari seluruh realitas. Hubungan ini dimaksudkan untuk mempertahankan eternalitas atau immortalitas diri dengan mengaitkan kepada eternalitas Yang Ilahi. Kecenderungan dari hasrat ini, secara logis (sebagai konsekwensi logis), melahirkan tuntutan epistemologis dan bentuk praktek atau prilaku tertentu, yang dalam agama dikenal dengan ritual.

Ritual, sebagai ekspresi pengalaman keagamaan pada awalnya sangat bersifat individual, tapi, ketika kecenderungan untuk menjalin hubungan antara manusia dengan realitas Mutlak sebagai Realitas Eternal tersebut menjadi ciri dan bagian dari suatu masyarakat, ritual mendapat bentuknya yang baku dan tertentu. Terlebih, ketika disadari bahwa hubungan eternal antara Realitas Mutlak atau Tuhan dengan alam semesta dan manusia secara substansial terjadi pada “saat” proses penciptaan, maka prilaku ritual, secara umum diambil dari event penciptaan tersebut, atau event theophani. Yaitu, peristiwa-peristiwa (yang dianggap) suci, tatkala Realitas Mutlak menenpatkan “diri” atau hadir di hadapan atau dalam diri manusia-manusia “suci”. Ketika itulah perenungan atau pendakian spiritual sebagai persoalan individual menjadi persoalan sosial; atau dari dimensi individual menjadi berdimensi sosial. Hal ini pun, terjadi ketika ada kesadaran bahwa eternalitas diri hanya bisa dicapai bersamaan dengan eternalitas alam, karena eternalitas Ilahi dipersepsi mewujud dalam eternalitas alam, dan eternalitas alam akan tercapai dan terjadi bila keteraturan dan kelestarian alam (cosmos kebalikan dari chaos) dipertahankan. Ketika itulah spiritualitas individual beralih menjadi spiritualitas komunal atau sosial.

Bersaman dengan munculnya kesadaran akan pentingan perwujudan eternalitas alam dan spiritualias komunal atau sosial, muncullah aturan-aturan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip spiritualisme tersebut. Namun demikian, terjadi reduksi epistemologis, dimana keseragaman formalitas cara pencapaian kualitas spiritual menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindari, dan kemudian, lama-kelamaan otonomi dan kekayaan (variasi) pengamalaman spiritual individu dibatasi. Hal tersebut dikarenakan pengamalan spiritual yang asalnya bersifat pribadi bergeser milik dan menjadi konvensi masyarakat. Maka, ekspresi pengalaman spiritual yang berbeda dan keluar dari konvensi sosial dianggap bid’ah atau tidak lajim. Ketika itulah, spiritualisme sebagai akar dari agama, kehilangan dinamikanya, kehilangan otonominya, spiritualisme menjadi institusi (lembaga) sosial yang tidak bisa diganggu gugat dan bersifat establis (tidak menerima perubahan).

Dalam kasus yang paling sederhana, sebagai contoh, tasawuf sebagai khazanah spiritualisme Islam, tatkala tasawuf sebagai “lokus” pengembaraan spiritual yang bersifat individual dan otonom serta dinamis, mendapat tuntutan untuk dilembagakan menjadi tarekat. Yaitu, tatkala tasawuf dianggap sebagai jalan keluar dari keadaan manusia yang chaos dan kehilangan jati dirinya (teralienasi dari diri sendiri). Atau meminjam istilah Heidegger Lupa-akan Ada. Maka, terjadi upaya percepatan proses peningkatan kesucian spiritual dengan cara melakukan proses “imitasi” atau peniruan terhadap apa yang dilakukan oleh seorang sufi. Sang Sufi karena tuntutan percepatan tersebut, melakukan “sistematisasi”: dan “penyederhanaan” terhadap perjalanan dan cara yang ditempuhnya, supaya dapat dilakukan pula oleh masyarakat pada umumnya. Karena perjalanan spiritual memiliki liku dan persimpangan sangat banyak, maka biar tidak terjadi penyimpangan pada muridnya, Sang Sufi sebagai Mursyid, menerapkan aturan-aturan yang sangat ketat dan mutlak harus diikuti oleh sang murid. Ketika itu, jalan atau cara (thareqat) yang diajarkan sang mursyid semakin mendapat keabsolutannya ditangan para murid ini. Ketika itu pulalah, spirilualisme menjadi suatu sistem yang terlembagakan, kaku (establish), ekslusif dan komunal.

Fenomena tersebut terjadi pada agama-agama. Spiritualitas sang Nabi atau pembawa agama yang demikian kaya, dinamis dan otonom, menjadi kaku, establis dan komunal. Tangga pencapaian kesempurnaan spiritualitas mengalami penyeragaman dan pembakuan, dimana perubahan dan penafsiran hanyalah milik para Nabi atau Rasul (dalam agama) atau para imam thareqat. Umat atau murid kehilangan otoritasnya dalam melakukan perubahan dan penafsiran yang radikal.

Agama, ketika telah menjadi konsumsi dan milik masyarakat penganutnya, secara umum telah menjadi seperangkat norma-norma etika sosial (hubungan manusia-manusia) dan norma-norma etika ritual (hubungan manusia-Tuhan) yang disepakati (konvensi) yang kadang akhirnya kehilangan dimensi spiritualnya. Karena, agama sebagai lokus spiritual yang dinamis menjadi seperangkat konvensi norma-norma yang terkodifikasi dalam teks-teks suci. Tingkatan keberagamaan pada akhirnya diukur dengan identifikasi-identifikasi formal, konvensional. Sakralitas sebagai suatu pengalaman bathin, sebagai cerapan bathin (spiritual sensibility dan spiritual ability) menjadi sakralitas yang bersifat konvensional (disepakati), sakral karena diakui bukan karena dialami. Sesuatu dianggap sakral bukan karena telah terjadinya kesatuan spiritual (spiritual unity) antara sesuatu tersebut dengan seorang individu, melainkan karena disepakati sebagai sesuatu yang sakral. Kedalaman emosi individual berubah menjadi emosi masa atau sosial. Penghayatan sakralitas yang dipijakan di atas kesadaran kedirian manusia (eksistensi manusia) sebagai hasil dari pengenalannya terhadap kebesaran dan sakralitas Nan-Ilahi, menjadi sakralitas yang dipijakkan di atas konvensi. Dalam agama, pada umumnya, konvensi-konvensi tersebut berpijak di atas konvensi teks (teks suci) atau pun konvensi historis. Dengan demikian, agama yang pada awalnya merupakan akumulasi kepedulian para nabi, rassul atau pembawa agama terhadap kesempurnaan kualitas spiritual manusia dan kemanusiaan, karena spiritual atau ruh sebagai substansi dasar manusia, menjadi kodifikasi sejarah kehidupan (biografi) sang nabi, yang kemudian dijadikan rujukan formal dan mutlak oleh pengikurnya. Teks, sebagai teks suci yang sarat dengan wacana dan dimensi spiritual, menjadi sekedar catatan dogma-dogma dan norma-norma yang membuat manusia kerdil. Doktrin atau ajaran agama yang asalnya bertujuan liberasi, setelah menjadi teks malah menjadikan manusia terbelenggu oleh makna-makna gramatikal dan leksikal, sehingga manusia kehilangan “kebebasannya”. Teks kehilangan spiritualitasnya. Dalam dunia Islam sebagai contoh, wacana studi Qur’an sampai pada kesimpulan bahwa al-Qur’an hanya bicara aspek-aspek global (mujmal) kehidupan manusia. Qur’an dianggap tidak berbicara secara rinci tentang masalah kehidupan manusia. Pandangan tersebut menjadi tampak wajar, karena bagaimana mungkin persoalan manusia, khususnya manusia modern, bisa diselesaikan dan dijawab hanya dengan 6.666 ayat. Hal tersebut dimungkinkan karena telah terjadi “pemiskinan” atau poorifikasi (pemiskinan) dan peyederhanaan (simplifikasi) terhadap isi dan maksud al-Qur’an. Al-Qur’an telah diletakkan sebagai naskah berdimensi tunggal, dimensi tekstual. Ia kehilangan ruhnya, ruh yang menjadikan al-Qur’an memiliki “makna” yang luas takterbatas, dan menjadikannya berdimensi spritual. Kemukjijatan al-Qur’an, sebagai contoh, yang hanya dipersepsi dari pendekatan “ilmiah” atau saintifik, al-Qur’an menjadi tidak lebih dari sekedar ensiklopedi ilmu pengetahuan yang sangat sederhana (tidak lengkap).

Demikian pula dengan ritual-ritual keagamaan. Ritual menjadi aktivitas rutin tanpa “jiwa”. Ritual dilakukan tak lebih dari sebagai kemestian hukum-hukum syari’at. Karenanya dimensi spiritual tercerabut dari dimensi agama. Ritual sebagai komunikasi spiritual, menjadi sekedar “upacara” rutin yang bersifat sosial dan jasmaniah. Hal tersebut tampak pada kecenderungan orang untuk lebih memperhatikan detail prilaku badaniah dan performent ritual, dari pada performent spiritual dari ritual tersebut. Demikian pula dengan indikasi-indikai kekhusuan dan kesyahannya. Tidak dilihat dari kedalaman sensibilitas dan kedalaman kesadaran spiritualnya. Juga dengan aspek-aspek kehidupan keagamaan lainnya. Hatta, kualitas masyarakat beragama ditentukan oleh kesejahteraan material dan peradaban material, bukannya dari keluhuran spiritualnya. Bahkan lebih lanjut, tidak jarang kehidupan spiritual sering dijadikan kambing hitam bagi keterbelakangan dimensi material umat beragama. Kesederhanaan, dan pilihan nabi untuk tidak memiliki kekayaan hanya menjadi mitos dan cerita pengentar tidur. Dengan ungkapannya “ …Ah itu kan Nabi, kita kan hanya manusia biasa…” dilanjutkan dengan perkataan “Bukankah sangat manusiawi bila kita mengejar kesenangan dunia..!”. Itu artinya telah memposisikan pilihan nabi sebagai pilihan yang tidak manusiawi. Peradaban Madinah yang asalnya ditegakkan di atas kesadaran universalitas spiritual yang memungkinkan terjadinya harmoni dalam masyarakat plural (dengan pluralitas agama, suku bangsa, klas sosial dan pluralitas lainnya), lebih kita persepsi dari sisi materialnya: pase Madinah sebagai titik awal pembangunan perdaban “material”. Demokrasi dalam Islam tiada lain dari buah kesetaraan atau liberasi spiritual. Dengan kata lain: kesadaran universalitas dan kesatuan spiritual manusialah yang melahirkan liberasi dan kultur demokrasi di Madinatur Rasul.

Dalam kondisi demikian, maka semakin tegaslah, bahwa agama bukan lagi sebagai pembebas akan tetapi, malah menjadi sumber keterbelengguan manusia. Agama menjadi legimitasi bagi penindasan hanya karena alasan perbedaan dalam mengekspresikan pengalaman dan pemahaman keagamaannya. Hal ini seperti diungkapkan Frithjof Schuon, bahwa pada tataran ekstrinsiklah manusia beragama saling berbeda dan saling sikut, bukan pada tataran intrinsik. Partialitas dan kompositas dimensi ekstrinsik akan semakin melebar ketika otoritas kehidupan spiritual individu ditolak, dinafikan. Dengan kata lain, bila ukuran tingkat spiritualitas menjadi milik “masyarakat” maka individu akan kehilangan otoritas dan haknya untuk “berkembang”. Ketika itulah pesan liberasi dari diutusnya para nabi dan para rasul kehilangan maknanya.

Kerangka Epistemologi Spiritualisme dalam Islam

Hubungan manusia-alam-Tuhan menjadi inti persoalan ontologis dan efistemologis dalam tasawuf atau spiritualisme Islam. Hubungan spiritual manusia-alam-Tuhan tersebut pada titik puncaknya terjadi dalam hubungan yang mengatasi konvensi sosial dan norma-norma sosial-manusia. Ia berada pada tataran yang tidak bisa dicapai dan dijelastuntaskan dengan penjelasan-penjelasan biasa atau rasional sekalipun. Bahkan tidak bisa diidentifikasi oleh norma-norma formal ritual keagamaan sekali pun (fiqh sebagai contoh). Karena ia menjadi suatu fenomena suigeneris, fenomena yang unik dan otonom. Lain halnya dengan norma-norma agama (Fiqh) yang secara spesifik dan eksplisit, walaupun sesungguhnya ia merupakan derivasi dari ekpresi pengalaman spiritualitas keagamaan, akan tetapi dalam hal-hal tertentu masih memungkinkan untuk diindentifikasi dan diverifikasi oleh kerangka berpikir rasional.

Untuk menjembatani paradoks demensi keagamaan tersebut, biasanya, para sufi mengkatagorikan tingkatan keagamaan dalam tiga tingkatan, yaitu “syari’at, (thariqat, sebagai perantara), ma’rifat dan hakikat”. Ketiga tingkatan tersebut dikenal “tri-tunggal jalan menuju Tuhan. Hadits Nabi menjelskan tentang ketiga jalan tersebut:

Syari’at adalah perkataanku (aqwali), thariqat adalah perbuatanku (‘amali), dan hakikat adalah keadaan bathinku.
Mencium ambang pintu Syari’at merupakan kewajiban pertama seseorang yang mau menempuh perjalanan mistik. Syair Turki mengungkapkan :

Syari’at: milikmu milikmu, milikku, milikku
Tariqat: milikmu milikmu, milikku milikmu juga
Hakikat: tak ada milikku atau milikmu.

Kategori syari’at, yaitu kategori keberagamaan “awal” yang masih bersifat minimalis. Menjadikan teks-teks dan sejarah kehidupan empirik para nabi sebagai pola dan acuan dalam beragama. Thariqat, upaya-upaya imitatif dalam melakukan penggemblengan spiritual, dalam tahap-tahap tertentu, yang dirumuskan dan diajarkan oleh sang Mursyid. Sedangkan kategori ma’rifat dicapai ketika ia menyaksikan kedalaman spiritual yang dialami para nabi dalam pengalaman spiritualnya sendiri. Dalam tataran ini, pengetahuann dan ilmu agama beralih dari pengetahuan dari ilmu al-yakin ke ‘ain al-yaqin. Keyakinannya tidak lagi akan mengalami pasang surut, karena ia telah menjadi saksi bagi dirinya sendiri tentang apa yang para nabi “ketahui”. Pengetahuan al-‘ilmu al-yaqin memang memiliki kemunkinan untuk pasang surut walaupun mungkin tidak sampai padam, karena keyakinan tersebut berpijak dan disandarkan di atas “keyakinan apriori” bahwa teks-teks suci tersebut di bawa oleh seorang nabi dari Tuhan-nya. Sedangkan pada tataran ‘ain al-yakin, keyakinan atas teks telah terbukti karena ia menyaksikannya, sebagaimana yang para nabi saksikan. Bahkan tingkat al-ain al-yaqin, sesungguhnya telah mengatasi teks.

Lebih tinggi lagi ketika apa yang para nabi “alami”, dialaminya pula. Pengetahuannya bukan hanya disandarkan di atas sekedar keyakinannya dan “persaksiannya”, akan tetapi disandakan pada pengalaman unity, kesatuan. Tahap inilah yang dikenal dengan al-haqqul al-yaqin. Tahap ini dalam tradisi tasawuf (falsafi) dekenal dengan wihdat al-wujud atau ittihad, yaitu kesatuan spiritual antara dirinya dengan para nabi dan rasul dalam kebersatuannya dengan cahaya ruh ilahi. Kesulitan orang untuk mengungkap pengalaman spiritual yang dialaminya tersebut sering menjebaknya dalam keterbatasan-keterbatasan “bahasa”. Lebih parah lagi ketika ungakapan-ungkapan tersebut dibaca oleh orang yang memiliki tingkat kedalaman dan pengalaman spriritual yang berbeda, lebih rendah. Maka yang terjadi adalah vonis atas seseorang didasarkan atas kehadiran “teks” bukan kehadiran “pengalaman”. Hal ini pula yang terjadi ketika orang membaca dan menyimak al-Qur’an secara tekstual. Ia hanya menghadirka makna-makna teks bukan menghadirkan kebenaran realitas hakikiah dari teks. Ia hanya akan menemukan kebenaran teks (sejauh gramatika dan kekayaan kosa kata bahasa teks bisa mewadahinya), bukan kebenaran dari kehadiran “pewahyuan Ilahi” kepada Rasulnya. Ketika rasul menerima wahyu tersebut tentunya yang hadir bukan sekedar kesadaran kebahasaan, akan tetapi lebih merupakan kehadiran secara utuh “spiritualitas” nabi. Hal ini digambarkan oleh teguran kepada nabi untuk tidak “melapalkan” apa yang diwahyukan ketika menerima wahyu, karena Allah akan menanamkannya dalam hati atau nurani (dimensi dan kesadaran spiritual) nabi.

Perjalanan spiritual seorang manusia, baik yang berakar pada suatu sistem keyakinan agama maupun yang berakal pada kesadaran “integritas kemanusiaan dan kealaman” pada akhirnya berpangkal pada satu titik yang sama, yaitu penyadaran atas integritas eksistensi diri, jati diri. Integritas kedirian dan integritas diri dalam relasinya dengan sesuatu “di luar diri”. Kesadaran relasional tersebut, tentunya didasarkan pada suatu pandangan akan kesetaraan esensial dan eksistensial antara diri dengan yang di luar diri tesebut.

Sufisme memandang seluruh realitas alamiah termasuk manusia merupakan jejak perwujudan kuasa Ilahi. Dengan dasar keyakinan bahwa seluruh makluk: gunung, burung dan lain sebagainya (bukan hanya manusia dan para malaikat) bertasbih kepada Allah, sufisme melakukan perubahan cara pandang terhadap “dunia”, dari cara pandang konvensional. Walau pun umat Islam pada umumnya meyakini bahwa seluruh makhluk bertasbih kepada Allah, akan tetapi pengetahuan tersebut lebih merupakan pengetahuan dan keyakinan yang “doktriner” sifatnya. Kaum Sufi, tidak lagi sekedar memandang fenomena tersebut sebagai unsur “doktriner” dan “imani” belaka, lebih dari itu mereka berusaha untuk ikut bahkan tampil kemuka untuk menjadi “makhluk” yang paling banyak bertasbih kepada Allah.

Secara terminologis bertasbih adalah “pengakuan dan persaksian” atas kesadaran akan kesucian Allah. Dalam konteks imani aktivitas bertasbih bersifat apriori, imani. Namun dalam konteks kesufian (teosofi), bertasbih harus berakar dari pengetahuan dan kesadaran yang muncul dari perjumpaan (‘ain al- yaqin) dengan Tuhan dan makhluk serta dirinya sendiri. Pernyataan atas “pengakuan” didasarkan pada kesadaran dan pengetahuan yang benar bahwa memang Tuhan itu Maha Suci, setelah ia “melihat” Tuhan dan melihat diri serta makhluk lainnya. Seperti halnya dalam kalimat Shahadatain, sebelum menyatakan Allah sebagai satu-satunya Tuhan tanpa sekutu, harus diawali oleh pengetahuan manusia atas tuhan-tuhan lain, dan kemudian dinafikannya. Penafian harus diawali dengan pengakuan, dan pengakuan harus diawal oleh penafian atas yang lainnnya: La ilaha, illa Allah.

Dengan demikian, pendakian spiritual dalam tradisi dan tata pikir sufistik harus diawali dengan pengenalan terhadap “diri” dan kemudian “sesuatu di luar diri”. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengenal substansi dan diri yang otonom serta substansi dan sesuatu di luar diri yang otonom, juga “unsur” atau garis yang menghubungkan dan mempersatukannnya. Pengenalan diri, merupakan akar dan syarat mutlak untuk mengenal sesuatu di luar diri. Pengenalan terhadap Tuhan, dalam dunia sufi mutlak harus diawali dengan pengenalan terhadap diri: Man ‘arafa Nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu

Pengenalan diri, dalam tradisi tasawuf merupakan syarat mutlak dalam perjalanan spiritual. Penekanan yang sangat terhadap pentingnya pengenalan diri dan menjadikan diri sebagai pijakan awal dalam perjalanan spiritual, diungkap secara sangat radikal oleh Yunus Amre dalam Diwan, sebagaimana dikutif Annemarie:

Jika kau mencari Tuhan, carilah Dia
Dalam hatimu Ia tidak ada di Baitulmakdis, tidak pula
Di Makah, atau di dalam haji.

Atau apa yang diungkap Sufi dan Budayawan Sunda, Hasan Mustapa:

Kaduhung ngajugjug jauh,
puguh nguntit-nguntit aing,
baluas da kurang awas,
ati lali ka ma’ani,
gumelar maknawiyahna,
nuding kanu lain-lain.

(Sesal setelah sekian lami mencari,
padahal (Tuhan) bersatu dalam diri,
tertipu karena tidak waspada,
hati lupa pada ma’ani,
yang tampak hanyalah manawiyah,
akhirnya salah menyapa)

Wujud dan cara pengenalan diri ini dilakukan dengan beberapa tahap dan persinggahan, antara lain : taubat, zuhud, faqr, sabr, syukr, khuf dan raja’, ridla, fana wal baqa.

Taubat adalah pembersihan diri dari dosa atau paradoks. Upaya untuk keluar dari absurditas diri. Hal tersebut dilakukan dengan merubah cara pandang terhadap diri dan dunia, dan kepasrahan (ridha, sabr, tawakal). Memandang hal tersebut sebagai takdir (Faktisitas=Jaspers). Perbuatan dosa pada umumnya terjadi dan muncul dari rasa ketidakpastian tentang masa depan kehidupannya yang melahirkan kegelisahan, kegalauan, samar-samar, tidak puas, dan akhirnya hilang kepercayaan diri. Untuk mengatasi hal tersebut ia melakukan jalan pintas dengan “menghalalkan segala cara”, yang mengakibatkan split personaliti dan akhirnya mengalami keterasingan dari dirinya (alienasi). Perasaan ketidakpastian tersebut muncul karena manusia tidak pernah merasa yakin dengan apa-apa yang terjadi, khususnya dengan peristiwa-peristiwa yang tidak terduga. Peristiwa-peristiwa yang sulit untuk diketahui dan dijelaskan runtut kausalnya. Kandang orang “ketiban pulung” secara tidak terduga, atau sebaliknya (hal yang dirasa lebih sering) mendapat bencana tanpa dapat diduga. Bencana, biasanya merupakan peristiwa lebih kuat terpatri dalam ingatan seseorang dari pada mendapat pulung, sehingga orang cenderung merasa lebih sering mendapat bencana dari pada pulung. Karena itulah manusia senantiasa berada dalam kondisi traumatis dalam hidup, karena senantiasa dibayangi oleh bencana-bencana yang tidak terduga. Peristiwa-peristiwa tak terduga ini lebih dipandang sebagai kejadian yang bersifat kebetulan. Trauma-trauma ini akhirnya tersimpan dibawah sadarnya, dan senantiasa menghantui selama hidupnya. Hasrat dan obsesi (berharap tinggi, over estimate) terhadap “pulung” tertekan oleh trauma bencana kehidupan yang tidak terduga. Dalam kondisi ini terjadi saling tarik-menarik atau saling tindih antara hasrat dan angan-angan dengan kekuatan di luar dirinya. Konflik tersebut tumbuh saling mendominasi dan mengontrol sebagai kemestian universal.

Ketidakmampuan orang untuk memahami kebetulan-kebetulan tersebut karena ia sulit untuk mehamai kelokan-kelokan serta relasi kausal yang rumit dan kasat mata.

Taubat merupakan terafi dengan merubah cara pandang terhadap diri dan dunia: yaitu dari cara pandang yang menyebelah dan sempit terhadap diri dan dunia serta peristiwa yang dialaminya, kasf al-kauny. Selanjutnya ia memandang seluruh kejadian sebagai peristiwa sinkronik (berkesinambungan dan terencana: Syncronity suggest that there is an connection or unity of causally unrelated events: Jung). Dengan demikian, hilang rasa takut dan waswas (la takhuf wa la takhzhan) atau rasa cemas (Martin Heidegger=angst) dari dirinya, karena ia yakin dan melihat bahwa tidak ada peristiwa yang betul-betul berdiri sendiri. Dengan demikian, hilang pulalah su’udzan terhadap orang dan Tuhan. Akhirnya ia akan positive thinking terhadap semua kejadian yang dialaminya. Ia tawakal terhadap hukum dan “kehendak” Ilahi yang termanifestasi dalam kejadian-kejadian pada alam dan dirinya.

Di sisi lain, ia menyadari bahwa: bisa jadi kejadian-kejadian yang di luar “perkiraan tersebut”, karena ia membuat estimasi yang berlebihan, estimasi yang tidak didasarkan perhitungan yang matang sesuai dengan “hukum” alamiah yang utuh. Untuk itulah, kaum sufi senantiasa menjaga untuk tidak berangan-angan yang melampaui batas. Lebih dari itu ia berusaha untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pemenuhan kesenangan material, duniawi (zuhud). Karena angan-angan yang melahirkan harapan yang berlebihan bisa melahirkan kekecewaan dan keputusasaan. Kecenderungan untuk menghilangkan angan-angan serta melakkan kontrol terhadap kecenderungan pemenuhan terhadap hasrat-hasrat material dan duniawi ini dalam dunia tasawuf dikenal dengan wara’. Hasrat-hasrat tersebut oleh kaum sufi disublimasikan pada hasrat-hasrat spiritual yang bersifat eternal atau infinity.

Di sisi lain, taubat dilakukan dengan melakukan penjernihan terhadap sumber-sumber traumatik di masa lalu. Traumatik di masa lalu (dalam konsep psikoanalisa Freudian) disembuhkan dengan melakukan pengingatan ulang dan menghadirkan diri dalam kondisi historis masa lalu. Dengan cara itu orang akan mampu melakukan revisi dan pemaknaan ulang secara positif terhadap peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan trauma tersebut. Proses penghadiran masa lalu historis hanya bisa dilakukan dengan “pengakuan” terhadap adanya peristiwa tersebut, dan menjadikannya bagian integral dari rentang historis secara integral dengan masa kini dan masa depannya. Dalam konteks sufistik, cara ini merupakan fenomena mukasyafah atau penyingkapan sekat-sekat wakyu atau historis (Martin Heidegger=aletheia).

Ketika konflik-konflik eksistensial (yang menimbulkan sekat-sekat atau tabir yang menghalangi komunikasi dan relasi) teratasi melalui proses penyucian diri (taubat, tazkiah an-Nafs) , terjadi penggantian pola relasi. Dari relasi penguasaan dan kontrol ke relasi saling membutuhkan, saling mengerti. Bahkan relasi yang dibangun diatas cinta yang murni, yang muncul dari kesadakan akan setauan spiritual (spiritual unity). Dengan cinta, energi konflik disumblimasikan menjadi energi pengikat.

Setelah proses pensucian diri tersebut, sekat-sekat (tabir) yang memisahkan diri dengan dirinya sendiri tersibak, demikian pula dengan sekat yang memisahkan antara diri dengan segala sesuatu di luar dirinya (alam dan Tuhan) pun terbuka. Maka, ketika itulah eksistensi diri dibangun di atas kesadaran relasi substansial di antara seluruh realitas. Ia menjadi bagian dari keseluruhan realitas, sekaligus hilang dalam keutuhan realitas (fana wa al baqa). Ia ada sekaligus tiada. Pola relasional yang terjadi bukan lagi dalam bentuk relasi-relasi fungsional, akan tetapi dalam bentuk relasi mistikal. Relasi yang bersifat unik dan otonom (suigeneris).

Dalam pola relasi tersebut, memungkin bagi manusia untuk menarik garis relasional antara diri dengan realitas alamiah di luar dirinya. Relasi manusia-alam-Tuhan tersebut terjadi dalam suatu relasi mistikal yang khas, yaitu dalam relasi cahaya ruh Ilahiyah. Ruhani manusia menjadi titik api dari pancaran sinal Ilahi yang dalam diri manusia. Manusia menyapa, memandang, mendengar dan bersatu dengan alam raya di atas paradigma kesatuan cahaya ruhaniah Ilahi. Capaian ini dikenal dengan Ma’rifat. Ketika itu lengkaplah hubungan relasional manusia dengan alam dan Tuhannya. Hubungan-hubungan relasional tersebut dalam Celestin Profecy dan Tenth Insight disebut dengan energi.

Orientasi fundamental dari sufisme adalah upaya menarik garis lurus paling pendek antara sumber cahaya (Tuhan) dengan titik api cahaya Ilahi dalam dirinya. Ruhani, (titik yang menyatukan seluruh pancaran cahaya Ilahi), dan dengan kalbu sebagai lokus (cermin yang mewadahi dan memantulkan kembali cahaya Ilahi) yang bila tidak ada sekatan yang akan mengakibatkan pembiasan (divergensi) yang diakibatkan oleh aura energi jasmani yang tidak stabil dan konstan. Untuk itulah harus dilakukan upaya untuk menyelaraskan antara aura jasmani dengan aura lingkungan, dan selanjutnya menyelaraskannya dengan aura energi cahaya Ilahiyah (Tajalliyah ar-Ruh). Maka, yang terjadi bukan saja tidak terjadinya bias cahaya Ilahi, melaikan semakin memperkuat getaran aura sinar Ilahi yang dipantul manusia.

Dalam tradisi sufi, penyelarasan akselerasi antara energi-energi alamiah serta jasmani dengan aura sinar Ilahi tersebut digunakan suatu metode “meditasi” yang disertai dengan sejumlah “lapal wirid” yang, baik dzahar maupun khofi. Penggunaan lapal-lapal tersebut, karena “diyakini, bahwa kata-kata yang disertai konsentrasi penuh akan melahirkan suatu kekuatan atau energi yang mampu menyatukan akselarasi antara getaran-getaran energi lahir dengan energi bathin. Apa lagi lapal-lapal wirid, yang secara spiritual lapal wirid sendiri (telah dengan sendirinya) telah mengandung getaran energi tertentu. Maka getaran energi dari proses “meditasi” tersebut menjadi sangat kuat dan berlipat ganda. Dengan lapal-lapal do’a dan wirid, Tuhan tersenyum di hati manusia, menyapa dan mendorong manusia supaya menjawab.

Ketika energi atau cahaya Ilahiyah telah menyatu dengan dirinya, maka ia menjadi pusat kontrol seluruh realitas alamiah, termasuk dirinya. Ia bersatu dengan seluruh energi alam raya yang merupakan perwujudan kuasa Ilahi. Ketika itulah ruhani kembali pada puncak potensinya. Seperti diungkap al-Qur’an tentang Ruh, “Inama amruhu idza arada syai’an anyakula lahu Kun! Fayakun!” Ketika itulah penglihatannya adalah penglihatan Tuhan, pendengarannya adalah pendengaran Tuhan. Apa pun yang ia kehendaki ia bersama-sama dengan kehendak Tuhan. Maka tidak lagi ada sekat ruang waktu bagi dirinya. Ketika itulah puncak keabadian ia capai. Capaian ini dikenal dengan Hakikat.